Kamis, 28 Februari 2013

Renungan Harian: Senin, 04 Maret 2013

Renungan Harian: Senin, 04 Maret 2013

2 Raj 5:1-5a; Luk 4:24-30

Bertahan Setia dalam Kebaikan

 

            Penolakan bisa saja dialami oleh siapa saja, mungkin karena perbedaan pandangan, karakter yang berseberangan atau kepentingan yang berbeda. Dalam Injil hari ini kita menemukan Yesus yang ditolak oleh orang-orang Nazaret. Kenyataan bahwa Dia adalah Sang Mesias yang mampu berkhotbah dengan indah tak mudah diterima oleh orang-orang sekampung-Nya. Bukan bersyukur karena Mesias tinggal sekampung dengan mereka, orang Nazaret malah mencoba menghentikan karya dan perjalanan Yesus. Namun apalah daya mereka, maut sekalipun tak pernah sanggup menghentikan Yesus untuk mewartakan kabar bahagia dari Allah.

                Tindakan membawa kebaikan memang tidak selalu dibalas dengan kebaikan. Adakalanya kita malah dicemooh atas niat-niat baik yang kita miliki. Mundur dari kebaikan itu bukanlah pilihan yang ditawarkan. Harus ada perjuangan untuk tetap bertahan pada cita-cita yang benar. Yesus mengambil keputusan untuk meninggalkan kota asal-Nya demi kelangsungan karya-Nya. Belajar dari Yesus, kita mesti tetap bertahan pada kebaikan demi akhir yang membahagiakan.

                Halangan untuk berbuat baik barangkali akan datang dari lingkungan sekitar atau bahkan dari teman dekat sendiri. Tentu ini sebuah tantangan berat yang harus kita hadapi. Sekali lagi, kita mesti berjuang untuk tetap bertahan setia pada cita-cita dan niat yang benar (HS).

 

Pelita Hati: Kita mesti berjuang untuk tetap bertahan setia pada cita-cita dan niat yang benar

Renungan Harian: Minggu, 03 Maret 2013

Renungan Harian: Minggu, 03 Maret  2013

Kel 3:1-8a.13-15; 1 Kor 10:1-6.10-12; Luk 13:1-9 Prapaska III

 

Sebelum Semuanya Terlambat

 

Seorang tuan ladang yang kaya memberi sebuah tantangan kepada seorang miskin sedesanya. "Kamu boleh mengambil tiga tongkol jagung yang terbesar dari ladangku ini. Tapi syaratnya, kamu harus terus berjalan lurus ke depan untuk mengambilnya. Dan kamu tidak boleh berbalik untuk memilih dan memetiknya!" Si miskin pun menyusuri ladang jagung si tuan itu. Saat ia hendak memetik setongkol jagung, ia berpikir," Ah nanti saja. Barangkali akan ada yang lebih besar lagi di depan sana". Ia terus menyisir dan asyik melihat kiri-kanan mencari yang terbesar. Tanpa sadar rupanya ia telah berada di ujung ladang. Alhasil, ia pun tak beroleh apa-apa.

Pertobatan, yang kembali ditekankan oleh bacaan-bacaan hari ini, adalah tindakan yang mesti dilakukan tanpa penundaan. Patut kita bersyukur bahwa kita diberi waktu untuk mengaku dosa dan lalu memperbaiki kesalahan-kesalahan  kita. Hanya saja, kita tidak pernah tahu akhir hidup kita, saat kita tidak bisa lagi membuat perbaikan. Hanya Tuhan yang tahu. Karena itu, pertobatan adalah sebuah tindakan kesiagaan menunggu hari Tuhan tiba di dalam hidup kita. Si miskin dalam kisah di atas nyatanya menyia-nyiakan kesempatan hanya karena keasyikan mengulur waktu. Penyesalan yang kemudian hadir di hatinya sungguh tidak lagi dapat merubah apa-apa.

Maka kini, sebelum penyesalan tiba, kesempatan yang kini kita miliki adalah peluang terhebat untuk bertobat. Pembenahan diri adalah sebuah proses yang mesti kita lakukan terus-menerus. Mari kita coba lihat, perubahan apakah yang perlu kita lakukan kini? Sikap mana yang perlu kita benahi? Selagi masih ada waktu kita, mari membuat sesuatu menjadi lebih baik (HS).

 

Pelita Hati: Sebelum penyesalan tiba, kesempatan yang kini kita miliki adalah peluang terhebat untuk bertobat 

Renungan Harian: Sabtu, 02 Maret 2013

Renungan Harian: Sabtu, 02 Maret 2013

Mi 7:14-15.18-20; Luk 15:1-3.11-32

Kembali ke Rumah Bapa

 

            Sudah seharusnya kita bersyukur bahwa Allah kita adalah Allah yang Mahapengasih. Ia berkenan menerima kita kembali pada-Nya meskipun kerap kita berpaling dari-Nya dan hanyut dalam kedosaan. Kasih-Nya memungkinkan kita dapat terus berusaha untuk membenahi diri untuk kembali berada di jalan-Nya selama hayat di kandung badan.

                Karena Allah sungguh mengasihi kita, pantaslah kita menyikapi Kasih Allah itu dengan pertobatan. Betapa indah kisah anak yang hilang yang disajikan oleh Injil hari ini kepada kita. Tak ada lagi yang lebih indah dari pengampunan seorang ayah kepada anaknya yang mulanya sungguh mengecewakan. Lebih dari sekadar mengampuni, sang ayah bahkan menggelar pesta meriah – pesta perjamuan besar – sebagai tanda gembira atas kepulangan si anak (bdk. Luk 15:22-24). Seandainya si anak tidak bersedia kembali, tak akan ada kisah indah ini. Itu berarti kemurahan hati si ayah untuk menerima kembali si anak ibarat gayung bersambut ketika si anak mau pulang kepada ayahnya. Sungguh indah!

                Keindahan yang sama pun kini sedang ditawarkan kepada kita. Allah selalu penuh Kasih, itu tidak perlu diragukan lagi, dari dahulu hingga sekarang sampai selamanya. Kitalah yang perlu berjuang untuk kembali kepada-Nya. Pertanyaannya, maukah kita?

                Pertobatan adalah sebuah perjuangan untuk kembali mencintai Allah, bukan hanya dengan kata-kata hampa tetapi juga dengan kegiatan nyata. Kita bisa melihat dari mana kita semestinya beranjak pergi, apa yang mesti kita tinggalkan. Yang perlu kini ialah tindakan nyata untuk pergi meninggalkan apa yang sekarang mesti kita tinggalkan (HS).

 

Pelita Hati: Pertobatan adalah sebuah perjuangan untuk kembali mencintai Allah, bukan hanya dengan kata-kata hampa tetapi juga dengan kegiatan nyata.    

Renungan Harian: Jumat, 01 Maret 2013

Renungan Harian: Jumat, 01 Maret 2013

Kej 37:3-4.12-13a.17b-28; Mat 21:33-43.45-46

Menghalau Ambisi Buruk

 

Seorang pemuda gagah ingin menyeberangi sungai berarus besar lagi dalam. "Akan kutunjukkan kehebatanku melawan arus!" ucapnya pada teman seperjalanan. "Ada hal yang harus kamu waspadai", begitu kata temannya mengingatkan. Si pemuda sama sekali tidak menghiraukannya. Ketika tengah asyik menerobos sungai, si pemuda merasakan lilitan sesuatu pada kakinya dan ia ditarik-tarik lilitan itu. Dengan panik si pemuda berseru minta tolong. Temannya menjawab, "Bukan arus besar yang harus kamu waspadai! Buaya terbesar di kampung ini tepat bersarang di tempat kamu berdiri!" Pemberitahuan ini tidak dapat merubah nasib si pemuda tadi. Ambisi telah menghilangkan nyawanya.

Ini soal ambisi. Lebih lagi, ambisi yang membinasakan diri. Penggarap anggur dalam perumpamaan Injil hari ini senasib dengan pemuda ambisius di atas. Kisah Yusuf dalam Perjanjian Lama pun menyajikan kisah yang senada. Kehendak untuk tampil hebat dan berkuasa membutakan mata hati mereka. Kerakusan akan materi dan nama baik membuat mereka terjerumus dalam niat jahat. Sama halnya dengan orang Farisi dan Imam kepala yang berusaha menangkap dan membunuh Yesus, Putra dari Tuan Ladang Kehidupan kita, demi kepentingan sendiri. Ambisi yang buruk.

Ambisi yang sama buruknya boleh jadi sedang bercokol di hati kita. Coba kita lihat, demi materi dan nama baik, apa yang telah kita korbankan? Kebersamaan dalam keluarga? Keharmonisan kakak beradik? Iman kepada Allah? Kita dipanggil untuk bahagia dan membahagiakan, bukan malah mengorbankan banyak hal demi cita-cita yang salah! (HS)

 

Pelita Hati: Kita dipanggil untuk bahagia dan membahagiakan, bukan malah mengorbankan banyak hal demi cita-cita yang salah.

Senin, 25 Februari 2013

Renungan Harian: Kamis, 28 Februari 2013

Renungan Harian: Kamis, 28 Februari 2013

Yer 17:5-10; Luk 16:19-31

Menjadi Lebih Baik bagi Sesama

 

            Usaha untuk membenahi diri menjadi lebih baik hanya dapat dilakukan semasa hidup. Hal yang menarik ialah bahwa kapan masa hidup itu akan berakhir kita tidak akan pernah tahu. Maka hal paling bijak yang paling memungkinkan untuk kita lakukan ialah berbuat baik sebisa mungkin di setiap waktu dan ruang yang kita miliki.

                Perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin dalam Injil hari ini kembali mengingatkan kita untuk tetap bertekun dalam pertobatan; selalu berusaha menjadi lebih baik di setiap waktu yang kita miliki. Sesungguhnya perubahan sikap yang sejati muncul atas niat dari dalam diri sendiri, karena sadar bahwa kita semata-mata hanya makhluk lemah di hadapan Allah, yang kepada-Nya saja kita berserah. Karena itu, apa yang baik yang tertera dalam Kitab Suci, itulah yang menjadi landasan yang tepat untuk kita dalam merubah sikap. Kiranya tidak perlu mukjizat-mukjizat yang luar biasa harus kita lihat agar kita mau merubah sikap.

                Berangkat dari perumpamaan orang kaya dan Lazarus yang miskin kiranya kita dapat merefleksikan bagaimana kita mesti bersikap dalam hidup bersama di tempat tinggal kita. Pekakah kita pada keadaan sekitar? Adakah usaha kita untuk memperhatikan saudara yang kekurangan dan butuh bantuan? Jika belum, maka kinilah waktu yang tepat untuk memulai lagi sesuatu yang lebih baik, sebelum semua yang kita anggap sebagai kesempatan berakhir tanpa ada hal baik yang telah kita buat (HS).

 

Pelita Hati: Usaha untuk membenahi diri menjadi lebih baik hanya dapat dilakukan semasa hidup

Renungan Harian: Rabu, 27 Februari 2013

Renungan Harian: Rabu, 27 Februari 2013

Yer 18:18-20; Mat 20:17-28

Berjuang untuk Melayani

 

Hari ini Injil mengajak kita untuk merenungkan nilai dari sikap melayani; menjadi rendah bagi Allah. Kerapkali, kata 'melayani'' dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif; tidak berharga, memalukan, hina, dan sebisa mungkin dihindari. Kini, baiklah kita mencoba mengerti sikap melayani sebagai langkah awal untuk semakin dekat pada Allah, dekat pada kebahagiaan. Sikap melayani yang Yesus tekankan hari ini adalah sungguh sebuah sikap yang mampu membawa kita pada hubungan yang dekat dengan Allah, membebaskan kita dari belenggu ego dan menghantar kita pada semangat mencinta.

                Mengapa aku mesti melayani? Sikap melayani sesungguhnya bukan hanya semata-mata untuk memuliakan Allah. Sebab tanpa itu pun, Allah sudah mulia adanya. Sekarang mari memaknai sikap melayani ini sebagai usaha kita untuk berbenah diri. Sikap melayani adalah sebuah usaha kita untuk lebih mengutamakan kehendak Bapa yang ada dalam diri orang lain, bukan hanya memenuhi kehendak atas nafsu-nafsu tubuh kita sendiri. Memenuhi kehendak Bapa berarti ada di pihak Bapa, sedangkan senantiasa memenuhi nafsu tubuh sendiri berarti menjadi budak dunia. Keputusan untuk memilih yang mana ada di tangan kita sendiri. Yang pasti, dengan melayani, kita melatih diri untuk menjadi 'lemah', taat dan semata-mata hanya dapat hidup bersama Allah.

                Marilah kita kini sama-sama berjuang untuk menjadi pelayan bagi satu sama lain. Dalam semangat pertobatan, mari kita mencoba untuk menjadi 'lebih rendah' di hadapan orang lain, sama seperti Yesus yang juga rela menjadi dina bagi kita meski ia sendiri adalah Raja (HS).

 

Pelita Hati: Sikap melayani adalah sebuah usaha kita untuk lebih mengutamakan kehendak Bapa yang ada dalam diri orang lain 

Renungan Harian: Selasa, 26 Februari 2013

Renungan Harian: Selasa, 26 Februari 2013

Yes 1:10.16-20; Mat 23:1-12

Belajar Rendah Hati

 

Sebuah cerita lama. "Siapakah yang terhebat di hutan ini?", dengan angkuh sang singa bertanya pada tikus. "Ten…tentulah Tuanku Singa", ucap tikus ketakutan. Saat seekor singa bergelayut rendah, singa kembali bertanya dengan angkuh,"Siapakah yang terhebat di hutan ini?" Sebelum kabur karena takut, monyet menjawab,"Pokoknya tuan singa is the bestlah…". Singa sumringah. Puas diri. Kali ini gajah lewat. Pertanyaan yang sama dilontarkan singa. Belum selesai bertanya, gajah menendang singa, lalu dengan belalainya gajah melilit singa dan menghempaskan tubuh singa…bar!! Selang beberapa saat, "Memang tidak bisa bertanya ya?" ujar singa sambil meringis bercampur malu.

Dalam Injil hari ini Yesus mengecam orang Farisi dan Ahli Taurat yang dengan kata dan perbuatannya meninggikan diri demi pujian dan menyiksa hidup orang banyak. Sementara Yesus sendiri mengatakan," yang meninggikan diri akan direndahkan dan yang merendahkan diri akan ditinggikan" (bdk. Mat 23:12). Rumusan ini mestinya juga menjadi rumusan hidup kita. Kita diminta untuk menjadi rendah hati dalam kata dan perbuatan demi kebahagiaan kita sendiri.

Sikap merendah yang dimaksud di sini bukanlah berarti menganggap apa yang ada dalam diri adalah bencana, melainkan kita menganggap apa yang ada dalam diri adalah anugerah dan dengan itu kita memberi sesuatu kepada sesama. Pemberian tidaklah mesti sesuatu yang besar dan hebat. Mother Teresa mengatakan, 'bukan pekerjaan besar yang bisa kulakukan, melainkan pekerjaan kecil namun dengan cinta yang besar.' (HS)

 

Pelita Hati: "Bukan pekerjaan besar yang bisa kulakukan, melainkan pekerjaan kecil namun dengan cinta yang besar."  

Rabu, 20 Februari 2013

Renungan Harian: Senin, 25 Februari 2013

Renungan Harian: Senin, 25 Februari 2013

Dan 9:4b-10; Luk 6:36-38

Memilih untuk Berbuat Baik

 

'Yang tidak menghakimi tidak akan dihakimi, yang tidak menghukum tidak akan dihukum dan yang mengampuni akan diampuni' (bdk. Luk 6:37), kalimat indah ini dilontarkan oleh Yesus sebagai bagian dari khotbah-Nya di bukit. Isinya jelas, gampang dimengerti. Pelaksanaan, itulah yang terpenting.

Siapa yang menabur, dia juga yang menuai. Kiranya ungkapan biblis ini dapat membantu kita untuk memahami pesan Injil hari ini. Kesadaran bahwa apa yang kita perbuat pada orang lain akan terjadi pada diri kita akan membuat kita menjadi lebih arif dalam berbuat sesuatu kepada orang lain. Dengan kesadaran ini juga, kita akan lebih berpikiran terbuka pada apa yang kita alami atas perlakuan orang lain. Andaikata ada perlakuan buruk yang kita dapat dari orang lain, tanggapan terbaik kita bukanlah malah mengumpati dan membiarkan amarah menguasai hati, melainkan mencoba melihat diri lebih dalam; adakah aku telah berbuat buruk kepada sesamaku. Pemahaman yang benar akan kalimat indah di atas akan menghantar kita pada pembenahan diri, perubahan sikap menuju kebaikan.

Pilihan, apakah kita ingin berbuat baik atau buruk pada orang lain itu ada di tangan kita. Maka, apa yang kelak kita tuai – perbuatan balasan dari orang lain – dapat ditentukan mulai dari sekarang. Kiranya Tuhan membantu kita untuk selalu memilih berbuat baik pada sesama. Semoga (HS).

 

Pelita Hati: Siapa yang menabur, dia juga yang menuai

Renungan Harian: Minggu, 24 Februari 2013 - PRAPASKA II

Renungan Harian: Minggu, 24 Februari 2013  - PRAPASKA II

Kej 15:5-12.17-18; Flp 3:20-4:1; Luk 9:28b-36

Berani menjadi Hina

 

            Gereja pada masa awal diganggu oleh aliran doketisme yang menyatakan bahwa Yesus tak sungguh wafat di kayu salib. Kayu salib dianggap terlalu hina untuk dikaitkan dengan Yesus. Karena itu, pengikut aliran ini menganggap bahwa ada orang lain yang menggantikan peran tersalib di kayu salib.

                Injil hari ini berkisah tentang Yesus dimuliakan di atas gunung. Yesus tampak mulia, bercahaya berkilau-kilauan dan rupa-Nya pun berubah. Peristiwa ini hadir sebelum Ia menjalani masa sengsara dan kematian-Nya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Yesus sungguh Mesias Putra Allah. Masa sengsara yang akan Ia jalani memang sebuah prosesi yang hina, namun dalam itulah tampak kemuliaan Yesus yang sungguh Anak Manusia dan sungguh Putra Allah. Inilah yang akhirnya dapat mematahkan pandangan aliran doketisme itu.

                Dalam keagungan-Nya Yesus tidak tampil di atas takhta megah yang penuh dengan kemewahan. Ia justru tampil dalam kesederhanaan yang sungguh bersahaja. Dan dalam keadaan ini pulalah kemuliaan-Nya semakin bersemarak. Pantaslah kita bersyukur bahwa Raja yang kita junjung, yakni Yesus Kristus, adalah Raja yang Mulia dalam kesederhanaan-Nya. Sebagai pengikut-Nya pantaslah kita juga meneladani-Nya dalam kesahajaan. Kesederhanaan yang Ia tunjukkan mesti juga menjadi semangat yang kita nyalakan selalu dalam hidup. Dalam masa tobat ini, marilah kita berjuang untuk sungguh menjadi saudara bagi sesama dalam Kasih, bukan malah berlomba untuk meninggikan diri dalam kata dan perbuatan. Abraham, yang kepadanya Allah menjanjikan keturunan dan tanah yang melimpah, tetap berkenan tunduk dan taat pada Allah bahkan mau memberi kurban bagi-Nya (bdk. Kej 15:5-6). Kita pun dalam setiap anugerah yang kita miliki, mesti tetap tampil rendah hati dan tidak lupa bersyukur atas pemberian Tuhan bagi kita (HS).

 

Pelita Hati: Marilah kita berjuang untuk sungguh menjadi saudara bagi sesama dalam Kasih, bukan malah berlomba untuk meninggikan diri dalam kata dan perbuatan

Renungan Harian: Sabtu, 23 Februari 2013

Renungan Harian: Sabtu, 23 Februari 2013 

Ul 26:16-19; Mat 5:43-48 – Pw. St. Polikarpus

Berani menjadi 'Gila'

 

Mengikut Yesus berarti harus siap menjadi 'gila', sama seperti Dia sendiri. Kata 'gila' dalam hal ini kita mengerti sebagai sebuah kecenderungan melakukan sesuatu di luar kewajaran. Dan memang benar, bahwa Yesus mengajari kita untuk berbuat sesuatu yang benar di luar kewajaran: CINTAILAH MUSUHMU! (bdk. Mat 5:44)

Perasaan apa yang terlintas ketika sosok yang kita kenal sebagai musuh bercokol dalam pikiran? Benci, kesal, dendam, marah atau jengkel? Atau semuanya sekaligus? Itulah sesuatu yang wajar dalam kehidupan dunia yang menganggap orang lain sebagai serigala – Homo homini lupus est. Namun kini, kita mesti beranjak dari kewajaran menuju cinta sejati yang universal tanpa batas. Rasa benci, kesal, dendam, dan jengkel perlahan mesti kita eliminasi dari hati kita. Harus diakui, mengemban perasaan-perasaan negatif itu sungguh melelahkan hati dan raga kita. Bayangkan betapa beratnya beban yang harus kita tanggung bila musuh harus berada di sekitar kita, atau bahkan serumah dengan kita. Untuk mengatasinya, hanya ada satu jalan terbaik: cintai musuhmu! Harus pula diakui, ini bukan perkara gampang. Tapi lihatlah, betapa indah anugerah Allah tampak dalam keunikan pribadi setiap orang di sekeliling kita. Mereka, bahkan musuh kita, hadir bukan sebagai ancaman melainkan sebagai guru yang mengajarkan betapa hidup kita amat indah.

Jika Santo Polikarpus, uskup dan martir, yang kita kenang hari ini tidak membenci orang yang menghabisi nyawanya, mengapa kita tidak bisa mencintai musuh kita? Ini juga perjuangan untuk mencintai Allah (HS).

 

Pelita Hati: Mengikut Yesus berarti harus siap sama seperti Dia

Renungan Harian: Jumat, 22 Februari 2013

Renungan Harian: Jumat, 22 Februari 2013

1 Ptr 5:1-4;Mat 16:13-19 – Pesta Takhta St. Petrus

 

Membangun Gereja dalam Kasih

 

Yesus dalam Injil hari ini mengenalkan dan meneguhkan Petrus sebagai pemegang Kunci Kerajaan Surga juga sebagai tanda Kesatuan Gereja (bdk. Mat 16:19). Inilah yang hari ini dikenangkan oleh Gereja kita. Sejak abad keempat peringatan yang sama juga telah dirayakan di kota Roma. Dan memang pantaslah kita mengenangkannya, sebab lewat takhta Petrus beserta para Paus, sebagai penggantinya, kita dapat bersatu dan diteguhkan sebagai pengikut Kristus.

                Satu nilai penting yang dapat kita lihat dalam Kesatuan Gereja yang hingga kini masih bertahan ialah bahwa Kasih sungguh berperan sebagai perekat hingga Gereja kita dapat tetap satu hingga kini. Tanpa Kasih, takkan ada kesatuan yang dapat dibina terlebih dalam kesatuan berupa Gereja yang kita hidupi ini.

                Kini, nilai yang sama pun mesti kita tumbuhkan dalam Gereja kecil kita, yakni keluarga. Kasih dalam keluarga! Keluarga sungguh harus didasari oleh rasa mengasihi satu sama lain; ayah mengasihi ibu pun sebaliknya dan anak mengasihi orangtua pun sebaliknya. Tanpa Kasih, keluarga yang rukun hanya akan ada dalam angan saja.

                Masa prapaska yang kini kita jalani memberi kesempatan untuk merajut keluarga bahagia dalam Kasih. Kita patut mengusahakannya. Keluarga adalah Gereja kecil kita; tempat kita merasakan nilai sebuah kesatuan yang benar dan rukun di hadapan Allah (HS).

 

Pelita Hati: Tanpa Kasih, tak akan ada kesatuan yang dapat dibina

 

Renungan Harian: Kamis, 21 Februari 2013

Renungan Harian: Kamis, 21 Februari 2013

Est 4:10a. 10c-12.17-19; Mat 7:7-12

Belajar Berserah

 

            Berbagai kesulitan, meski tidak diinginkan, tak dapat ditolak kehadirannya dalam hidup. Kesulitan ini beragam rupanya, bergantung peran yang dijalani dalam hidup; ada kesulitan tersendiri yang dihadapi sebagai orangtua, suami dan istri, anak, pekerja, pelajar, wanita ataupun pria. Syukurlah bila kesulitan itu dapat dikendalikan dan akhirnya dapat diatasi dengan baik. Bagaimana bila tidak? Ke mana kita akan meminta pertolongan dan jalan keluar?

                Betapa bahagianya kita mendengar pesan lembut Yesus pada kita lewat Injil hari ini. "Mintalah…akan diberi, carilah…engkau mendapat. Ketuklah…pintu akan dibuka bagimu! (bdk. Mat 7:7)" Kata-kata-Nya memberi harapan bagi kita di saat masa-masa sulit datang menghampiri. Patut kita awaskan, kerap kali nilai pesan ini menjadi kabur bila kita dipenuhi oleh keegoisan yang hebat. Lihatlah, orang yang rakus akan asyik meminta rejeki yang melimpah. Orang yang dilanda kecemasan hebat akan meminta umur yang panjang dan kesehatan yang terjamin (seolah ingin hidup selama-lamanya). Akhirnya, semua permohonan yang dihaturkan hanya menjurus pada satu hal: kesenangan hampa di dunia yang sementara ini. Dan lagi, ketika doa yang dipanjatkan itu tidak terkabul sesuai keinginan nafsu kita maka kekecewaan akan datang di hati dan kerap ditandai dengan ungkapan," Tuhan tak pernah mendengar doaku…"

                Kini marilah kita mulai mengerti doa sebagai ungkapan penyerahan diri secara total kepada Allah, bukan lagi sebagai kumpulan permohonan yang tiada batas. Jika kita sanggup berserah kepada Allah apa lagi yang kita khawatirkan? Jika pun meminta, mintalah kekuatan untuk mampu berserah pada Allah. Jika pun mencari, carilah apa yang Allah kehendaki, bukan kehendak sendiri.

                Dalam hidup kita mesti berjuang untuk memperoleh apa yang terbaik bagi orang lain dan diri kita sendiri. Semua hal yang ada dalam kendali kita harus kita usahakan. Selebihnya, apa yang tak dapat kita kendalikan, biar Tuhan yang berkarya (HS).

 

Pelita Hati: Mintalah kekuatan untuk mampu berserah pada Allah

Renungan Harian: Rabu, 20 Februari 2013

Renungan Harian: Rabu, 20 Februari 2013

Yun 3:1-10; Luk 11:29-32

Merajut Hubungan Baik dengan Allah

            Yesus memperkenalkan diri lebih dalam lagi kepada kita. Dengan singkat dan jelas diterangkan, Yesus jauh lebih besar dari Yunus dan Salomo. Yunus dan Salomo, dua tokoh besar dalam Perjanjian Lama, rupanya juga tak sanggup menggambarkan keagungan yang dimiliki oleh Yesus. Wajarlah demikian, sebab Yesus yang kita agungkan itu adalah Anak Manusia yang sungguh Allah. Tak ada duanya.

                Masa prapaska ini memanggil kita untuk kembali menjalin hubungan yang mesra dengan Allah. Seperti nabi Yunus yang dulu menuntun orang Niniwe kembali kepada Allah, kini Yesus, Putra Tunggal Allah, hadir di hidup kita agar kita pun turut hidup bahagia dalam terang Kasih Allah.

                Coba kita lihat bersama, hal-hal apa saja yang membuat kita tidak memiliki hubungan yang baik dengan Allah? Barangkali usaha mencari uang sungguh banyak menyita waktu kita. Atau kehendak untuk hidup bersenang-senang dan asyik dengan keenakan-keenakan badaniah yang menjauhkan kita dari Tuhan. Kecenderungan untuk berselisih dengan orang lain pun dapat merenggangkan hubungan dengan Allah.

                Allah mengutus nabi Yunus ke Niniwe karena Allah sungguh ingin orang Niniwe kembali pada-Nya. Bagi kita Yesus Kristus hadir sebagai Jalan menuju Allah. Yesus adalah tanda cinta Allah kepada kita. Bagaimana kita semestinya memperlakukan cinta Allah ini? Nasihat-nasihat bijak telah dihadirkan bagi kita oleh Yesus dalam Kitab Suci. Itulah yang menjadi dasar hidup kita untuk kembali merajut hubungan mesra dengan Allah. Pertobatan diawali oleh kesadaran akan kesalahan dan dosa yang kita lakukan, kemudian dilanjutkan dengan perubahan nyata dalam sikap. Itulah usaha kita merajut hubungan baik dengan Allah (HS).

 

Pelita Hati: Yesus adalah tanda cinta Allah kepada kita  

Renungan Harian: Selasa, 19 Februari 2013

Renungan Harian: Selasa, 19 Februari 2013

Yes 55:10-11; Mat 6:7-15

Berusaha Berdoa dalam Rahmat Tuhan

Berdoa lebih banyak dan lebih tekun adalah topik sentral yang perlu dalam menjalani masa Prapaska. Bacaan Injil pada pembukaan Masa Prapaska, Hari Rabu Abu, menekankan tiga hal dasar dalam masa Prapaska yakni: memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa. Ikut dengan bacaan itu, kedua bacaan hari ini berbicara mengenai doa. Ada dua yang diberi perhatian berdasarkan dua bacaan kudus yang disampaikan pada hari ini, yakni berdoa dengan upaya atau usaha dari pihak manusia dan kedua berdoa bersama Allah, atau lebih tepat membiarkan Allah berkarya/berdoa dalam diri manusia dalam doa itu. Doa adalah karya Allah, pemberian Allah, hadiah Allah sekaligus usaha dari pihak manusia untuk melaksanakan doa tersebut.

Berdoa dengan usaha atau upaya yang lebih dari pihak manusia itu dikemukakan dalam bacaan Injil. Yesus bersabda, "Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." Kedua, dalam Injil ini juga, Yesus mengajak mendoakan doa Bapa kami. "Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga." Mendoakan Doa Bapa Kami itu, menunjukkan aktivitas dari manusia atau usaha manusiawi.

Hal kedua yang ditekankan dalam hal berdoa ialah menyadari bahwa doa itu adalah rahmat atau karya Tuhan dalam diri pendoa. Bacaan pertama mengatakan Firman Tuhan akan bekerja dalam diri orang yang percaya, tidak begitu saja akan sia-sia. Membiarkan Allah berfirman, menyampaikan Sabda kehidupan adalah doa yang benar. Pendoa membaca Kitab Suci, merenungkan Kitab Suci, lalu membiarkan Sabda itu terletak, bersemi dan tumbuh dalam hati adalah doa yang sesungguhnya (HS).

 

Pelita Hati: Sabda kehidupan adalah doa yang benar.

Renungan Harian: Senin, 18 Februari 2013

Renungan Harian: Senin, 18 Februari 2013

Im 19:1-2.11-18; Mat 25:31-46

Berbuat  lebih Tidak Hanya Kata

Berbuat baik kepada sesama manusia adalah satu yang nyata-nyata diminta oleh Tuhan lewat bacaan-bacaan kudus pada hari ini. Bukan dengan kata, tapi perbuatan yang konkret. Itu jelas dalam bacaan yang pertama pun dalam bacaan Injil. Dan itulah salah satu inti dari masa prapaska: lebih berbuat dari pada berbicara.

Injil Matius menegaskan hal itu dengan baik dalam dua bagian. Bagian pertama tekanannya bagi yang berbuat dan bagian kedua tekanan bagi yang tidak berbuat. Pertama, mereka yang berbuatlah yang masuk atau menerima Kerajaan Allah yang telah disediakan Allah, bukan orang yang tidak berbuat apa-apa bagi sesamanya. Kata Injil, "Marilah, hai kamu yang diberkati Bapa-Ku, terimalah kerajaan yang disediakan bagimu sejak dunia dijadikan…Sebab, ketika aku lapar, kamu memberi aku makan; ketika aku haus, kamu memberi aku minum, ketika aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan…". Perbuatan yang nyata diperhitungkan Tuhan.

Bagian kedua adalah kebalikan dari yang pertama tadi, yakni kepada yang tidak berbuat, sangat tandas dan keras dikatakan, akan diusir dan disebut terkutuk, "Enyahlah dari hadapan-Ku, hai orang yang terkutuk, dan masuklah ke dalam api yang kekal, yang telah disediakan untuk setan dan malaikat-malaikatnya". Lalu disambung dengan alasannya, "Sebab,  ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan, haus tidak memberi aku minum, dan setrusnya…." Perbuatan nyata itulah yang terpenting. Bacaan pertama juga menyebut hal itu.

Masa Prapaska adalah masa menterjemahkan iman dan perintah utama yakni perintah cintakasih dalam perbuatan yang nyata dan terlihat. Dunia ini baru berubah bila umat manusia berbuat yang benar dan baik dalam kehidupan beragama dan dalam hidup sehari-hari (HS).

 

Pelita Hati: Iman dan perintah utama yakni perintah cintakasih dalam perbuatan yang nyata dan terlihat

Renungan Harian: Minggu, 17 Februari 2013- PRAPASKA I

Renungan Harian: Minggu, 17 Februari 2013- PRAPASKA I

Ul 26:4-10; Rm 10:8-13; Luk 4:1-13

Masa '4O' Kita

 

            Angka 40 mempunyai makna yang amat berarti dalam Kitab Suci kita. Mulai dari peristiwa pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir, penantian Musa akan dua loh batu dari Allah di Gunung Sinai, hingga masa puasa Yesus di padang gurun, itu semua digambarkan dalam  kurun waktu '40'. Peristiwa-peristiwa itu melambangkan sebuah momen persiapan menuju peristiwa penting yang akan terjadi. Selama 40 tahun perjalanan bangsa Israel dari Tanah Mesir akhirnya berakhir di tanah terjanji yang dijanjikan Allah bagi mereka – yang memang setia sampai akhir. Penantian Musa selama 40 hari di Gunung Sinai akhirnya diakhiri dengan adanya dekalog – sepuluh perintah Allah kepada umat-Nya. Dan seperti yang dimuat dalam Injil hari ini, Yesus berpuasa selama 40 hari di padang gurun sebelum akhirnya Ia tampil di hadapan publik.

                Kini momen yang sama hadir bagi kita saat ini. Terhitung mulai hari ini, masa 40 hari kita kini dimulai. Masa puasa – yang juga kita sebut masa prapaska – lebih dari sekadar mengenang masa 40 hari yang dilalui oleh Yesus ketika berpuasa di padang gurun. Kita kini dihadapkan pada masa pembenahan hubungan dengan Allah. Kini waktunya bagi kita untuk merajut kembali hubungan baik dengan Allah. Segala perbuatan salah, yang menjadi penghalang bagi kita untuk mencintai dan mengenal Allah lebih dalam mesti perlahan kita benahi dalam diri kita. Inilah masa yang akhirnya kita sebut sebagai masa pertobatan.

                Ada dua tahap penting dalam momen ini. Masa identifikasi diri. Kita masuk ke kedalaman hati untuk melihat mana hal-hal yang perlu dibenahi. Dan lalu, perubahan sikap. Apa yang kita ketahui salah namun tidak diubah tentu tidak akan membawa perbaikan apa-apa. Pertobatan bukan hanya soal kata, tetapi juga perbuatan nyata (HS).

 

Pelita Hati: Pertobatan bukan hanya soal kata, tetapi juga perbuatan nyata

Selasa, 12 Februari 2013

Renungan harian: Sabtu, 16 Februari 2013

Renungan harian: Sabtu, 16 Februari 2013

Yes : 58 : 9b-14; Lk : 5 : 27-32

Syukur Atas Rahmat-Nya

   "Apabila engkau tidak lagi..." dengan kata ini nabi mengungkapkan perobahan tingkah laku bila melaksanakan perintah Tuhan. Keadaan yang buruk ini sama sekali tidak berkenan kepada-Nya: menginjak dan memperbudak sesama (kuk), mencari kesalahan orang lain (nunjuk jari); memfitnah dan merendahkan  sesama. Secara positif:  memberi makan kepada orang yang lapar, menghibur orang yang patah hati. Dengan tingkah laku ini, orang beriman dilimpahi rahmat, berkat dan keberhasilan: dipulihkan kembali hidup manusia yang rukun dan aman.

   Yesus membawa beban dosa seluruh umat manusia; kita bersyukur atas rahmat-Nya. Yesus, sebenarnya bisa memisahkan diri dari orang berdosa, tak perlu bertobat; tak perlu menderita, namun secara bebas Dia memikul beban dan hukuman dosa seluruh manusia. Dalam Ekaristi kita diajak oleh Yesus untuk menjadi semeja dengan-Nya, tetapi kita lebih dulu harus mengatakan: aku mengaku; aku tidak layak, tetapi karena Sabda-Mu aku diundang ke pesta ini.

Yesus tidak enggan atau malu duduk semeja dengan Levi. Yesus tahu isi hati manusia berkat curahan ilahi, dapat melakukan pertobatan. Apa dasar pilihan Yesus terhadap murid-murid dan rasul-rasul? Mereka tak punya kedudukan dalam masyarakat, tidak ada pendidikan seperti ahli Taurat, bukan golongan istimewa seperti Farisi dan Saduki, murid Yesus adalah orang sederhana. Levi sendiri sangat dibenci dan dianggap najis karena bergaul dengan para penjajah, kaum Romawi. Pilihan Yesus bersumber pada cinta-Nya dan mereka itu rela mengikuti-Nya: "berdiri dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikuti Dia". Bagi kita yang rela mengikuti Yesus, ada pengampunan dan kegembiraan. Adanya pengampunan dari Tuhan karena Tuhan jatuh cinta sama kita. Maka dari kita dituntut solider dengan kerahiman ini bagi setiap orang yang membutuhkannya (SS).

 

Pelita Hati: Bagi para pengikut Yesus ada pengampunan dan kegembiraan  

Renungan harian: Jumat, 15 Februari 2013

Renungan harian: Jumat, 15 Februari 2013

Yes : 58 : 1-9a; Mat : 9 : 14-15

Tanda Solidaritas

            Penghayatan hidup beragama selalu mengikuti segala peraturan berkaitan dengan ritus dan pelaksanaan peraturan-peraturan sebagai ungkapan murni beragama. Padahal banyak ritus dan peraturan-peraturan itu telah bercampur dengan egoisme dan keangkuhan;  para penghayat merasa puas dan murni karena taat pada setiap peraturan tetapi tak memiliki kepedulian apa pun terhadap sesama.

Nabi Yesaya mewartakan: hidup beragama itu sering terlepas dari kenyataan hidup sehari-hari: Aku dan Allah melulu! Sesamanya? Urusan lain! Isi pewartaan bacaan pertama  sama dengan  kata-kata pengadilan akhir: "Aku lapar,  aku haus, aku seorang asing, aku telanjang, aku sakit... dan kamu tidak berbuat apa pun".

                Dalam perjalanan menuju Paska kita dinasihati oleh Firman ilahi, Perjanjian Lama dan Baru,  bahwa hidup rohani dan  bermatiraga  tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan Allah dan sesama: hidup rohani menjiwai hidup jasmani. Yesus menegakkan keseimbangan ini: puasa dan matiraga tetap dalam hubungan dengan penderitaan Yesus demi keselamatan manusia. Dasar hidup kristiani: mengikuti Yesus di mana pada saat tertentu kita dituntut berjalan bersama-Nya dan membawa  salib, tetapi bukan sebagai paksaan atau sebagai budak, melainkan menuju kemuliaan: bergembiralah dan menangis! "ada waktunya mempelai diambil dari mereka...".

Pengorbanan Yesus bukan pengorbanan ritual melulu, melainkan pengorbanan belaskasih: " belaskasihan kuinginkan bukan pengorbanan hewan"! Pengorbanan Yesus adalah ketaatan pada Bapa dan tanda tertinggi cintakasih yang sanggup melepas manusia dari belenggu dosa dan memberi kebebasan yang sejati sebagai putra-putri Bapa. Dengan demikian, manusia beriman disatukan dalam pengorbanan Yesus agar  lebih mampu mencintai sesama, inilah tanda solidaritas (SS).

 

Pelita Hati: Pengorbanan Yesus bukanlah pengorbanan ritual, melainkan pengorbanan belaskasih

Renungan harian: Kamis, 14 Februari 2013

Renungan harian: Kamis, 14 Februari 2013

Ul : 30: 15-20; Lk : 9 : 22-25

Memilih Kehidupan

            Yahwe menawarkan jalan yang benar sekaligus menjauhkan manusia dari yang menyesatkan. Tetapi manusia, pada umumnya, ingin yang gampang dan menguntungkan tanpa memperhitungkan risiko atau kerugian setelah pilihan itu. Yahwe sebagai orangtua sayang terhadap ciptaan-Nya yang berbudi dan menghormati karunia kebebasan sehingga tidak mau memaksa, melainkan menawarkan: pilih yang mana?  "Kehidupan dan keberuntungan atau kematian dan kecelakaan?" Hidup berarti kasih Allah, mentaati perintah-Nya, setia pada Firman-Nya. Sedang kematian dan kecelakaan adalah mengikuti hatinya, nafsunya, sesuai dengan pikirannya. Semua ini gampang tetapi menuju ke kehancurannya.

                Allah tidak memaksa manusia tetapi memberi nasihat atas bahaya: "pasti kamu akan binasa". Oleh sebab itu, Allah menginginkan jawaban yang bebas dari putra-putri-Nya bukan jawaban dari budak dan sekaligus memberitahu akibat dari pilihannya: "pilihlah kehidupan supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu". Sri Paus Paulus VI menulis: "setelah dievangelisasi harus mengevangelisasi" dan dalam Tahun Iman ini kita diajak menyinari iman di tengah komunitas kita dan menyinari iman yang sudah luntur pada saudara lain. Bila kita sudah mengalami kasih sayang Tuhan, kita hendaknya mempercayakan diri pada-Nya, mengikuti  kehendak-Nya, dalam kesulitan dan dalam perjuangan.

                Hari ini Gereja memperingati dua orang kudus bersaudara, Kirillus dan Metodius. Mereka menjadi misionaris dan rahib di abad IX di daerah Eropa timur. Berkat mereka, umat dapat menikmati Sabda ilahi dengan menterjemahkan Kitab suci dan buku-buku liturgi  dalam bahasa daerah, bahasa Slavik. Perjuangan mereka luar biasa karena pada waktu itu hanya bahasa Latin dan Yunani yang diperbolehkan. Kedua saudara ini dituduh sebagai orang yang memecah-belah umat kristiani (SS).

 

Pelita Hati: Pilihlah kehidupan supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.  

Renungan harian: Rabu, 13 Februari 2013

Renungan harian: Rabu, 13 Februari 2013 – Rabu Abu

Yl : 2: 12-18; 2Kor : 5  : 20-6:2; Mat : 6 : 1 -6

Pertobatan

            Pada hari ini umat kristiani memulai suatu perjalanan rohani menuju prapaska – Paska. Perjalanan ini sering disebut sejenis RETRET AGUNG. Kepada kita ditawari  tujuan utama: yang pertama: penyegaran dan kesadaran atas rahmat Pembaptisan; ciri kedua pertobatan berkaitan dengan jiwa dan raga kita melalui Sabda ilahi yang menjadi santapan harian puasa dengan  pantang yang melatih kepedulian kita  terhadap kaum papa melalui APP (aksi puasa pembangunan).

                Sejak awal  perjalanan rohani ini,  Gereja, melalui rasul Paulus, mengarahkan kita pada sikap utama: rela menerima rahmat, "inilah kesempatan" yang paling baik agar jangan sia-sia keselamatan. Dalam Injil Yesus membina sikap yang  benar untuk berbakti kepada Bapa surgawi: persatuan dengan-Nya yang sebenarnya merupakan sikap dari Yesus sendiri: melaksanakan kehendak Bapa dan hidup dalam persatuan-Nya. Penginjil Matius dengan menunjukkan ketiga perbuatan keagamaan sekaligus mengajak untuk menghindari godaan atau sebuah sikap yang timbul  dari perbuatan tersebut, yaitu keinginan untuk dihormati, dipuji, dibalas. Balasan atas kebaikan  kita terletak di tangan Bapa saja;  pembalasan cinta adalah cinta.

                Sikap kita selama Masa Prapaskan ini adalah menghayati iman, cinta dan kesaksian-Nya dengan memandang Bapa surgawi. Memandang Bapa dapat dilakukan dengan melakukan perbuatan yang baik. Perbuatan itu dapat dimulai dari hal kecil misalnya dalam doa, dalam matiraga, dan dalam cinta persaudaraan. Bagaimana cara berdoa Yesus? Bagaimana kita harus berdoa? Kehidupan Yesus adalah kehidupan dalam doa. Hendaknya kita berdoa dengan penuh kepercayaan, tekun, sederhana, pagi, siang- sore – malam, berdoa bersama dengan Gereja, dan lebih-lebih dalam Perayaan Ekaristi dan memelihara beberapa devosi: adorasi, jalan salib, rosario dll (SS).

 

Pelita Hati: Tuhan ingin agar apa yang kita perbuat sesuai dengan kehenda-Nya karena Dialah Kebaikan  

Kamis, 07 Februari 2013

Renungan harian: Selasa, 12 Februari 2013

Renungan harian: Selasa, 12 Februari 2013

Kej : 1 : 20-2: 4; Mrk : 7 : 1-13

Menghormati Sesama

             Puncak dari ciptaan Tuhan yang mengagungkan adalah manusia. Manusia disiapkan agar nyata keistimewaan dan perhatian ilahi: dialah tuan atas segala yang diserahkan Allah sendiri. Manusia didorong untuk mengembangkan dirinya dan memenuhi seluruh ciptaan serta menguasainya. Allah menghormati dan membanggakan makhluk istimewa ini: "Engkau telah memahkotai-Nya dengan kemuliaan dan hormat... segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya.."(Mzr: 8 : 6-7).: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita..".

                Dalam kutipan Injil, Yesus tidak ingin sesuatu yang tak berarti dijadikan masalah besar: Adat-istiadat manusia, cuci tangan sebelum makan karena di pasar atau di jalan, orang  menyentuh barang yang menajiskan. Sering terjadi bahwa manusia dalam hubungan pribadi atau dalam  masyarakat, sesuatu  yang sepele menimbulkan kerusakan dan kebencian bahkan pembunuhan. Sikap dan perbuatan seperti ini bukanlah mencerminkan pengikut Kristus. Pengikut Kristus dapat menjadi besar dan luhur  berkat ketaatan dan kesetiaan pada cita-cita Allah terhadap dirinya, yaitu Dekalog, perintah utama dari Yesus dan kata bahagia injili. Dengan demikian, manusia tidak kehilangan martabat, bebas dan hormat: "hormatilah  ayahmu dan ibumu", "sayangilah sesamamu seperti dirimu sendiri".

Besarnya ego manusia yang sering membenarkan yang kecil demi pergeseran yang penting membuat manusia tak lagi memiliki kesetiaan sehingga peranan Sabda ilahi dalam hidup bermasyarakat dan pribadi hilang. Ego ini hendaknya dibuang dari dalam diri kita sebab kita mesti saling menghormati karena sesama merupakan gambar dan rupa Allah. Jadi, hendaknya kita bangga atas kedudukan dan martabat manusia sebagaimana selalu dicita-citakan Tuhan dan menghormatinya sebagai orang beriman (SS).

 

Pelita Hati: Hendaknya kita bangga atas kedudukan dan martabat kita sebagaimana selalu dicita-citakan Tuhan dan menghormatinya sebagai orang beriman