PESTA PANEN SEBAGAI UCAPAN SYUKUR
1. PENGANTAR
Pesta panen lebih sering
dihubungkan dengan cara hidup orang petani. Pada periode tertentu, para petani
menanam padi dan sesudah sekian bulan akan memamen hasil dari padi tersebut.
Hal yang sama untuk tanaman-tanaman budidaya lainnya. Bahkan tanaman yang tidak
langsung dikelola manusia pun memberikan panen pada waktunya. Misalnya mangga,
durian, dan tumbuhan hutan lainnya. Karena itu pesta panen sering dihubungkan
dengan kehidupan petani di desa.
Akan lain halnya kalau kita
berbicara dengan situasi kehidupan masyarakat di kota, baik kota kecil maupun
kota besar. Di sana tidak ada musim panen berkala seperti yang dialami oleh
para petani di desa. Tetapi tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai sumber
pendapatan. Para pegawai mendapat gaji tetap. Para pekerja buruh mendapat
pengahasilan sesuai dengan kesepakatan dengan majikan mereka. Para pedagang
mempunyai sumber pendapatan sesuai dengan banyaknya hasil penjualan mereka.
Dengan kata lain, orang kota tetap mempunyai sumber pendapatan, yang menjadi
sumber penghidupan mereka, yang diperoleh dengan cara lain daripada orang desa.
Dalam tradisi gereja, pesta
panen adalah tanda ucapan syukur atas segala berkat yang diperoleh umat Allah
dalam hidup mereka sehari-hari. Dan kalau ini merupakan inti dari pesta panen,
maka bukan kapan dan bagaimana sumber pendapatan itu menjadi alasan utama untuk
mengucap syukur kepada Tuhan. Baik masyarakat desa dan kota patut merayakan
pesta panen sebagai kesempatan bersyukur kepada Tuhan.
Berikut ini akan dijelaskan
beberapa hal tentang pesta panen. Pertama, dijelaskan apa dasar pesta panen itu
sesuai dengan pengalaman umat Allah dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Kedua, bagaimana perayaan pesta panen itu dialami oleh manusia zaman sekarang.
Ketiga, bagaimana sikap yang harus dimiliki oleh orang beriman dalam memberi.
Kemudian ditarik beberapa kesimpulan.
2. PESTA PANEN MENURUT KITAB SUCI
Pengalaman umat beriman dari
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyampaikan bahwa pesta panen itu
merupakan pesta sangat penting untuk menyampaikan syukur kepada Tuhan atas
segala rahmat yang diterima oleh umat beriman. Hal ini dapat kita lihat dari
kutipan-kutipan Kitab Suci berikut ini.
Janji Allah kepada Abraham
dalam (Kej. 12:1-3) adalah bagian dari keyakinan bangsa Israel tentang
kepemilikan tanah. Tuhan memanggil Abraham dari negeri Ur Kasdim untuk pergi
dan menduduki tanah perjanjian, yaitu tanah Kanaan (kemudian
dikenal sebagai tanah Palestina). Tanah tersebut sering dilukiskan sebagai
tanah yang berlimpah dengan susu dan madu, yang berarti tanah yang kaya, subur
dan produktif. Orang Israel meyakini bahwa tanah perjanjian itu
adalah milik Tuhan yang dipinjamkan kepada mereka untuk dikelola dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena itulah tanah itu tidak dapat
diperjualbelikan dengan sembarangan, apalagi kepada orang asing.
Setelah peristiwa keluarnya
bangsa Israel dari negeri Mesir, Tuhan mengatur kembali tata cara pengelolaan
tanah itu dan dibakukan oleh Musa untuk menjadi ‘hukum’ yang harus mereka
patuhi, termasuk cara bagaimana mengelola hasil panen dari tanah itu yang
dikaitkan dengan kepatuhan mereka beribadah di hadapan Tuhan.
Dalaam Kitab Keluaran
(34:21-22) dicatat, “Enam harilah lamanya engkau bekerja, tetapi pada hari yang
ketujuh haruslah engkau berhenti, dan dalam musim membajak dan musim menuai
haruslah engkau memelihara hari perhentian juga. Hari raya Tujuh Minggu, yakni
hari raya buah bungaran dari penuaian gandum, haruslah kaurayakan, juga hari
raya pengumpulan hasil pada pergantian tahun.”
Jelas, hidup mereka tidak
terlepas dari iman dan ketaatan mereka kepada Tuhan, termasuk dalam mengatur
musim membajak dan musim menuai (panen). Maka pada musim menuai (panen) mereka
juga harus memelihara hari perhentian yang dikuduskan untuk Tuhan.
Mereka harus merayakan hari raya buah bungaran (buah pertama) dari penuaian gandum sebagai Hari Raya Tujuh
Minggu.
Hasil panen itu mereka jadikan sebagai persembahan
syukur kepada Tuhan, sekaligus sebagai kesaksian iman mereka bahwa segala
sesuatu mereka peroleh dari Tuhan, oleh Tuhan dan untuk Tuhan.
Menurut Kitab Imamat
(23:15-20), "Kemudian kamu harus menghitung, mulai dari hari sesudah sabat
itu, yaitu waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan, harus ada genap tujuh
minggu; sampai pada hari sesudah sabat yang ketujuh kamu harus hitung lima
puluh hari; lalu kamu harus mempersembahkan korban sajian yang baru kepada
Tuhan. Dari tempat kediamanmu kamu harus membawa dua buah roti unjukan yang
harus dibuat dari dua persepuluh efa tepung yang terbaik dan yang dibakar
sesudah dicampur dengan ragi sebagai hulu hasil bagi Tuhan. Beserta roti itu
kamu harus mempersembahkan tujuh ekor domba berumur setahun yang tidak bercela
dan seekor lembu jantan muda dan dua ekor domba jantan; semuanya itu haruslah
menjadi korban bakaran bagi Tuhan, serta dengan korban sajiannya dan
korban-korban curahannya, suatu korban api-apian yang baunya menyenangkan bagi
Tuhan. Kemudian kamu harus mempersembahkan seekor kambing jantan sebagai korban
penghapus dosa, dan dua ekor domba yang berumur setahun sebagai korban
keselamatan. Imam harus mengunjukkan semuanya beserta roti hulu hasil itu
sebagai persembahan unjukan di hadapan Tuhan, beserta kedua ekor domba itu.
Semuanya itu haruslah menjadi persembahan kudus bagi Tuhan dan adalah bagian
imam. "
Persembahan syukur dari hasil
panen juga disebut persembahan unjukan, yang mengacu pada kesaksian dan
pembuktian atas iman dan ketaatan mereka kepada Tuhan. Mereka harus menunjukkan
dan memberikan persembahan tersebut kepada Tuhan dengan perantaraan imam di
Kemah Suci. Tuhan memberi kuasa kepada imam-imam untuk menyatakan persembahan
itu layak atau tidak! Semuanya itu haruslah menjadi persembahan kudus bagi
Tuhan dan adalah bagian imam! Uniknya, mereka tidak boleh menghabiskan
semua hasil panen bagi diri mereka sendiri. Mereka juga
harus menyisakannya untuk orang miskin dan orang asing! Dengan kata
lain, hidup mereka bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk
Tuhan dan sesama yang membutuhkan pertolongan. Dalam hal ini, pemahaman tentang
kasih kepada Tuhan (vertikal) dan kasih kepada sesama manusia (horizontal) dapat
dipahami sebagai bentuk salib!
Pesta Panen menurut Kitab
Kisah Para Rasul. Dalam zaman Perjanjian Baru, Hari Raya Tujuh Minggu tersebut
telah menjadi Hari Raya Pentakosta atau Hari Raya Kelimapuluh
(Ibr.: khamisysyim yom). Perayaan itu tetap dilaksanakan. Bahkan orang Yahudi perantauan
dan orang asing yang beragama Yahudi harus datang ke Yerusalem, yang menjadi
pusat perayaan Hari Raya Kelimapuluh. Menurut Kitab Kisah Para Rasul 2: 9-11,
di antara mereka ada yang disebut orang Partia, Media Elam, penduduk
Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir
dan daerah-daerah Libia. Hari Raya Kelimapuluh menunjuk kepada genapnya hasil
pekerjaan, yang dipersembahkan kepada Tuhan. Untuk menentukan mulainya Hari
Raya Kelimapuluh ini, orang Yahudi harus menghitung 7 minggu, dimulai
dari persembahan gandum pertama yang masak, di mana Paskah itu mulai,
sesuai dengan Kitab Imamat 16:9 dan 23:15-17. Demikianlah Hari Raya Kelimapuluh
(Pentakosta) terus dirayakan oleh orang Yahudi sebagai pesta ucapan syukur
atas hasil panen.
Jemaat Kristen mula-mula
menghubungkan Hari Raya Pentakosta dengan peristiwa pencurahan Roh Kudus dan
hari lahirnya gereja (ekklesia). Tuhan Allah di dalam Roh Kudus, melalui
kesaksian/pemberitaan Injil para rasul, juga berpesta panen di dalam
pertobatan 3000 orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
3. PESTA PANEN ZAMAN SEKARANG
Dalam Gereja Katolik, pesta
panen sudah dirayakan sejak abad ke-3 Masehi. Di Eropah Tengah dan Utara Pesta
Syukur Panen dirayakan pada musim gugur, pada bulan September. Upacara serupa
terjadi di Israel, Yunani atau di Kekaisaran Romawi pada waktu itu.
Di Jerman Pesta Syukur Panen
dirayakan pada Pesta St. Mikael, 29 September karena St. Mikael dinyatakan
sebagai pelindung Kekaisaran pada waktu itu. Pada Pesta Syukur Panen diadakan
misa, yang disebut Misamikael. Pesta Panen sering dirayakan bersamaan dengan
pesta pelindung gereja.
Di banyak tempat di Eropa,
perayaan Pesta Syukur Panen diadakan bersamaan dengan pesta pelindung gereja,
pesta pelindung paroki, atau pesta pelindung kota. Pesta ini dirayakan dengan
meriah dan penuh sukacita. Hasil panen dibawa ke gereja. Di halaman gereja
disediakan makanan dan minuman yang boleh dinikmati oleh semua orang. Pesta
Syukur Panen ini sering berlangsung tiga sampai empat hari, dari Sabtu sampai
Selasa. Orang makan dan minum banyak. Mereka bahagia. Selain makan dan minum,
mereka juga menari dan membuat banyak permainan. Dari desa ke desa acara ini
berbeda. Pada pesta panen seperti ini, ucapan yang sering muncul adalah
“Terimakasih Tuhan. Terimakasih atas buah bumi dan tangan manusia”. Mereka
bersyukur atas alam yang memberi panen, manusia yang mengerjakan, dan Tuhan
yang memberkati.
Sejak tahun 1972, Konferensi
Uskup Jerman menetapkan hari Minggu pertama di bulan Oktober sebagai tanggal
tetap, tanpa mengungkapkan pengaturan autentik ini untuk semua masyarakat.
"Tahun keselamatan berorientasi sejarah gereja tidak mengenal syukur
panen." Meskipun demikian, kebiasaan mengucap syukur atas panen yang baik
telah lama di banyak komunitas Katolik telah menjadi umum.” Dalam Pesta Syukur
Panen, masyarakat Protestan biasanya merayakan pada hari Minggu setelah Santo
Mikael (September 29).
Di Amerika Serikat,
"Pesta Syukur Panen" yang dirayakan pada Kamis keempat di bulan
November dan merupakan hari libur resmi. Pesta memperingati Pesta Syukur Panen
pertama dari Pilgrim. Secara tradisional, ini adalah keluarga memasak kalkun
untuk dimakan. Selain itu mereka biasanya merayakan persis seperti Negara
Jerman, tetapi Pesta Syukur Panen tidak hanya versi Amerika, Pesta Syukur Panen
setidaknya di AS tanpa latar belakang agama.
Di Kanada, "Pesta Syukur
Panen" dirayakan pada Senin kedua di bulan Oktober, dan pada kenyataannya
sesuai lebih ke pesta panen Eropa dengan latar belakang Kristen.
Pesta ini dirayakan di banyak
negara di seluruh dunia: di Perancis adalah Jour d'Action de rahmat, Belanda -
Oogst di Jepang – Niinamesai, di Amerika Serikat - Thanksgiving Day.
Di Jerman, Erntegaben menghiasi altar, atau dibawa ke altar. Dalam banyak masyarakat, tardisi ini juga terkait dengan aksi solidaritas untuk orang-orang yang membutuhkan. Tanggal 5 Oktober di Berlin komunitas Katolik St Albertus Magnus Gereja di Charlottenburg-Wilmersdorf mengundang semua tamu hormat kami untuk Misa Pesta Syukur Panen yang diadakan dengan acara sarapan khusus.
Di Jerman, Erntegaben menghiasi altar, atau dibawa ke altar. Dalam banyak masyarakat, tardisi ini juga terkait dengan aksi solidaritas untuk orang-orang yang membutuhkan. Tanggal 5 Oktober di Berlin komunitas Katolik St Albertus Magnus Gereja di Charlottenburg-Wilmersdorf mengundang semua tamu hormat kami untuk Misa Pesta Syukur Panen yang diadakan dengan acara sarapan khusus.
Kedekatannya dengan alam
membawa mereka pada kedekatan dengan Sang Sumber Kehidupan, yakni Allah. Hampir
di setiap suku budaya bersyukur seperti bisa kita temukan. Di kalangan
masyarakat Sunda ada upacara “SEREN TAHUN”. Seren Tahun berarti menyerahkan
tahun yang lalu juga tahun yang akan datang. Penyerahan tahun lalu dinyatakan
dengan membawa hasil panen untuk dipersembahkan dan menyerahkan tahun yang akan
datang berarti berharap akan berkat yang lebih baik kepada Hyang Widi, Tuhan
Allah Sang Pencipta.
Hal itu diungkapkan dengan dua
hal : pertama dalam ritual doa ibadat yang mendapat prioritas pertama, keduanya
dalam bentuk persembahan yang akan dibagikan kepada sesama sebagai wujud
sosial. Dengan demikian kita diingatkan bahwa sebagai insan ciptaan Tuhan harus
menghayati dua hal yang utama yakni membangun harmoni relasi dengan Allah
Sang Pencipta (secara vertikal) dan membangun harmoni relasi dengan sesama,
terlebih dengan yang kekurangan (secara horizontal). Semua yang hadir
bergembira dan kemudian makan bersama sebagai wujud kebersamaan dan
persaudaraan.
Dalam tradisi kita Batak Toba
dikenal dengan istilah “GOTILON”. Gotilon dari manggotil berarti memetik,
maksudnya memetik hasil pertanian. Acara ini kini sudah diangkat menjadi
tradisi Gereja setempat. Maka setiap stasi setiap tahun mengadakan pesta
Gotilon tersebut. Setelah para Sintua (pegurus Dewan Stasi) memuntuskan
waktunya maka keputusan itu diumumkan kepada umat.
Pada waktunya, umat akan
membawa pasi yang akan dipersembahkan maupun untuk benih yang akan diberkati.
Hasilnya dipersembahkan sebagai rasa syukur atas panen yang telah ‘digotil’
maupun permohonan berkat untuk masa yang akan datang dengan berkat atas benih
padi yang dibawa. Seperti pada umumnya, pesta memuncak dalam acara makan
bersama. Disitulah terungkap kegembiraan dan rasa sukacita bersama atas segala
berkat dan kasih Tuhan.
Ada hal yang menarik dari
persembahan mereka. Persembahan itu kemudian diserahkan kepada para pengurus
gereja sebagai tanda terima kasih atas bimbingan dan pelayanan mereka terhadap
umatnya.
Entah dimanapun dan oleh
kelompok manapun itu dilakukan tetapi ada hal-hal yang pantas kita simak.
Pertama adalah bahwa sikap bersyukur adalah sikap manusia yang sadar akan
hidupnya yang bergantung pada berkat dan Rahmat dari Allah. Rasa syukur itu
diungkapkan dalam ritus yang biasa dihayati yang merupakan wujud dari bakti
manusia kepada Allah Sang Penciptanya. Itulah yang disebut kesadaran religius.
Kedua adalah bahwa kegembiraan itu semakin besar bila dinikmati bersama atau
dengan berbagi dengan yang lain. Ini wujud dimensi sosialnya. Hal itu semakin
diwujudkan dengan saling berbagi. Hidup kita seharusnya hidup yang selalu
dipenuhi rasa syukur. Orang suci mengatakan bahwa orang yang berbahagia adalah
orang yang bisa selalu bersyukur dalam hidupnya. Dengan demikian ia selalu
mengakui bahwa hidup ini anugerah, hidup ini pemberian dari Allah. Dan
pemberian itu tidak hanya membawa kegembiraan pada dirinya sendiri tetapi disempurnakan
dan diperluas dengan kepedulian berbagi dengan sesama. Marilah kita menjadi
orang-orang yang selalu bersyukur agar makin penuhlah sukacita kita dalam hidup
ini.
4. SEPULUH SIKAP DALAM MEMBERI PERSEMBAHAN
“Allah mengasihi orang yang
memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7b). Semboyan ini merupakan sumbangan penting
untuk mengerti persembahan, termasuk pemberian pada Pesta Panen. Bertolak dari
ungkapan Paulus ini, maka baik kita simak penghayatan orang yang memberi
persembahan dan bagaimana seharusnya sikap kita dalam memberi.
4.1. Memberi dengan Semangat
Apa motivasi orang Katolik
untuk memberi? Memberi adalah suatu kharisma (Rm 12:8), suatu hadiah Allah
pencipta yang melimpahkan kasih karunia-Nya kepada umat-Nya, yang memampukan
mereka memberi dengan murah hati. “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih
karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala
sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9:8). Siapa
yang bertemu dengan kasih karunia Tuhan akan diberdayakan untuk memberi dengan
berlimpah. Sebab, ia melihat kekayaan Allah dalam diri Yesus yang menyerahkan
diri-Nya agar kita menjadi kaya oleh karena kemiskinannya (bdk. 2 Kor 8:9).
Orang Katolik yang sudah diperkaya oleh Sang Pencipta dalam Yesus Kristus
semakin meyakini ucapan Yesus bahwa “lebih berbahagia memberi daripada
menerima” (Kis 20:35). Di sini Paulus mengutip ungkapan Yesus yang tidak
diberitahukan dalam Injil-injil. Ungkapan ini oleh penulis untuk Kitab Kisah
Para Rasul dimuat dalam pidato Paulus kepada para penatua di Efesus, dan salah
satu titik beranya adalah pelayanan “membantu orang lemah”. Justru inilah
motivasi orang Katolik untuk memberi dengan semangat. Paulus mempromosikan
persembahannya dengan semangat besar dan kesungguhan bertindak supaya sukses.
Sama seperti dulu, sekarang
juga persembahan hasilnya lumayan besar. Hal itu tidak terjadi begitu saja.
Orang semakin sadar akan arti bersyukur kepada Tuhan. Namun, di lain pihak ada
kekhawatiran umat, apabila memberi banyak maka biaya untuk keperluan hidup
sehari-hari menjadi berkurang. Karena itu mereka hanya memberi sedikit dan
bahkan ada yang memberi hanya sisa-sisa ongkos atau belanja.
4.2. Memberi Berdasarkan Informasi
Informasi persembahan
“dianaktirikan” dalam liturgi ibadat. Para pengurus gereja kurang mempersiapkan
bagian ibadat yang penting ini. Mereka menganggap bahwa umat sudah (kurang lebih)
termotivasi untuk memberi. Untuk apa diberikan waktu dan pikiran untuk
pemberitahuan yang teliti dan menarik perhatian umat yang berkumpul? Jadi,
informasi tentang tujuan persembahan sering tidak disampaikan kepada jemaat
secara baik. Kadang kala informasi terlalu singkat: “Persembahan Hari Minggu
ini ditetapkan untuk renovasi gedung gereja.” Atau terlalu panjang dan bertele-tele,
sehingga membosankan, bahkan menurunkan semangat untuk memberi.
Apabila penyampaian informasi
itu disiapkan dengan baik, pasti jemaat terbuka untuk memberi menurut kemampuan
atau malah lebih dari itu. Camkanlah: keputusan untuk memberi dengan kemurahan,
bukan dengan akal saja, melainkan juga dengan hati! Akal membuka pundi-pundi,
hati menentukan berapa yang diambil dari pundi-pundi itu! Umat memang memberi
tapi tanpa motivasi yang khusus. Alangkah baiknya apabila informasi diterangkan
dengan jelas selama satu-dua menit saja!
4.3. Memberi dengan Sukarela dan Sukacita
Segala pemberian umat
hendaklah dikalukan dengan sukarela, bukan perintah “dari atas” ataupun
paksaan. Dari wajib memberi tidak bertumbuh berkat! Tidak ada juga semacam
pengukur jumlah pemberian tertentu untuk persembahan! Allah yang memberi dengan
berkelimpahan mencurahkan kepercayaannya kepada manusia yang memberi dengan
sukarela dan sukacita. Sebab “Allah mengasihi orang yang memberi dengan
sukacita” (2 Kor 9:7b), tidak dengan segan-segan.
Allah yang mahakaya itu
menghendaki suatu umat yang bersukaria dan bukan yang berwajah murung. Sebab,
barangsiapa menerima berkat yang berlimpah, hendaklah ia mau berbagi dengan
sesama yang berkekurangan dengan sukarela dan sukacita. Untuk itu, sangat
menarik teladan jemaat Makedonia, - yang dianiaya, namun bertahan dalam
penderitaan – yang dengan gembira memberi dengan berkelimpahan. Orang-orang
Kristen Makedonia tidak menganggap partisipasi mereka dalam aksi pengumpulan
sumbangan tersebut sebagai suatu privilege
(hak istimewa) yang perlu dilamar agar boleh ikut serta: “Dengan kerelaan
sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh
kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus”
(2 Kor 8:4). Teladan mereka pantas ditiru!
Dengan singkat dapat dikatakan
bahwa memberi dengan sukacita dan sukarela sebagai jawaban atas pemberian kasih
Allah yang begitu besar itu, adalah motivasi utama bagi umat yang berpatisipasi
dalam kegiatan pemberian persembahan yang dianjurkan kepada mereka.
4.4. Memberi Sesuai dengan Kemampuan
Pemberian kiranya sesuai
dengan kemampuan (2 Kor 8:11-12). Nasiha Paulus kepada jemaat Korintus adalah
“hendaklah kamu masing-masing – sesuai dengan apa yang kamu peroleh –
menyisihkan sesuatu” (1 Kor 16:2). Kerelaan dan kemampuan memberi berpedoman
pada anggaran rumah tangga. Banyak keluarga di Indonesia masih hidup di sekitar
bahkan di bawah garus kemiskinan. Namun, mereka – mengikuti pedoman Paulus –
“menyisihkan sesuatu” untuk kebutuhan gereja. Seorang janda dalam cerita Yesus
memasukkan “segala apa yang ada padanya, segenap nafkahnya” ke dalam peti
persembahan (Mrk 12:44). Sumbangan dari janda yang miskin itu berkenan di
hadapan Tuhan, karena bukan besarnya jumlah pemberian, melainkan sifat
pengorbanan ibu itu yang menentukan.
Di provinsi Papua, penduduk
Kristen, baik di pedalaman pegunungan maupun didaerah pantai, “menyisihkan
sesuatu” (bahan makanan) sebagai persembahan mereka pada ibadah Minggu. Walaupun
kebanyakan orang Kristen Papua hidup di desa terpencil dan sangat miskin, toh
mereka mampu memberi persembahan berupa makanan; di kawasan pegunungan: ubi dan
sayur, di kawasan pantai: sagu, ikan asin dan kelapa. Pemberian-pemberian itu
biasanya diuangkan dan diserahkan kepda pewarta. Terkenal juga dalam umat di
lembah Baliem-Yalimo, apa yang disebut “babi persembahan”. Kalau terlalu banyak
ubi dikumpulkan dalam kebaktian, maka ada anggota yang sanggup membelinya guna
menambunkan “babi persembahan” yang dapat dijual bila sudah gemuk atau
dipotong, umpamanya pada pesta hari ulang tahun anaknya.
Tidak jarang kita dengar ada
dermawan dan penyantun yang sering menyediakan dakan besar untuk beraneka ragam
tujuan umat, tetapi menjadi sombong (bdk. 1 Tim 6:17-19). Mereka mendiktekan
penggunaan dan penyaluran dana yang mereka sumbangkan. Terhadap sikap seperti
ini, Yesus mengingatkan kita untuk tidak mencanangkan pemberian yang kita
berikan di hadapan orang banyak; sebaliknya, hendaklah kita memberi dengan
berpedoman pada: janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan
kananmu (bdk. Mat 6:1-4). Perlu diperhatikan juga bahwa orang-orang Katolik
kaya yang terus-menerus didekati untuk menjadi sponsor, mulai merasa dirinya
diperas dan mulai timbul perasaan “segala sumbangan mewah itu melampaui
kemampuan mereka”. Kiranya pedoman ini menjadi dasar dan berlaku untuk semua
lapisan masyarakat, agar memberi sesuai dengan kemampuan masing-masing.
4.5. Memberi dengan Murah Hati
Kata sifat ini (murah hati)
menggambarkan pemberian dengan berkelimpahan. Anggota-anggota jemaat Makedonia
dan Akhaya juga tergolong di antara mereka yang memberi dengan “melampaui
kemampuan” (2 Kor 8:3, 7; 9:5,11). Paulus mengajak jemaat misinya untuk memberi
dengan murah hati, karena mereka begitu unggul dalam segala hal rohani sehingga
mereka juga unggul dalam hal mendukung pelayanan kasih. Berbeda dengan nasihat
“memberi sesuai dengan kemampuan”, Paulus dengan sekuat tenaga mempromosikan
pengumpulan dana untuk Yerusalem agar jumlahnya lumayan besar. Hal ini sesuai
dengan ucapan Yesus, “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, daripadanya
akan banyak dituntut” (Luk 22:48). Jemaat-jemaat Paulus menuruti nasihat
Paulus. Mereka yakin bahwa upaya-upaya dan kesungguhan mengumpulkan sumbangan
bagi orang-orang yang menderita tersebut “membuktikan juga kekayaan kasih
karunia yang telah diterima” (2 Kor 8:2).
Dalam banyak gereja dikenal
persembahan persepuluhan. Dasar teologisnya diambil dari praktik persembahan
yang dilakukan oleh umat Israel dalam Perjanjian Lama. Memberi persepuluhan
sepenuhnya dan dengan tertib menyediakan suatu jumlah uang yang lumayan besar
sambil memungkinkan suatu pelayanan umat yang sungguh baik. Secara rohani, kita
boleh menganggap persembahan persepuluhan sebagai suatu ekspresi iman
kepercayaan yang teguh. Tetapi, itu bukanlah suatu norma untuk kekatolikan dan
bukan pula sesuatu yang dilakukan dengan paksaan. Siapa yang memberi dengan
berkelimpahan akan mengalami berkat Tuhan yang berlimpah. Pendermaannya menjadi
“suatu bukti kemurahan hatinya” (2 Kor 9:2). Sebaliknya, orang yang menggenggam
hartanya secara kikir dan hatinya tidak terbuka untuk menolong sesama akan
senantiasa dicekam oleh “kecemasan” dan “kekhawatiran” akan masa depan.
“Janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai
kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Mat 6:34).
4.6. Memberi dengan Tulus Ikhlas
Memberi dan mengelola dana
dengan tulus ikhlas adalah suatu tuntutan mutlak dalam gereja dan masyarakat. Meskipun
demikian, cara memberi ini tetap menuntut pengelolaan keuangan yang baik.
Pengumpulan dana untuk Yerusalem cukup banyak (2 Kor 8:20-21) dan perlu
dipertanggungjawabkan. Untuk itu, ditugaskan dua orang saudara yang bonafide untuk turut mencegah kecurigaan
yang mungkin timbul dalam jemaat Korintus yang beranggapan bahwa sebagian dari
dana yang terkumpul telah disisihkan untuk kepentingan pribadi Paulus. Kedua
teman seiman itu hendak memproklamasikan bahwa dana yang sudah terkumpul
dikelola dengan tertib. Bagi Paulus, hal ini sangat penting: usahanya harus
dapat dinilai oleh “Tuhan dan manusia”, sehingga tidak ada alasan untuk
mencelanya. Memang, “Allah yang menguji hati kita” (1 Tes 2:4), tetapi juga di
hadapan umat perlu ada pembuktian.
4.7. Memberi dengan Tekun
Untuk dapat memberi dengan
tekun, diperlukan tiga hal: kesungguhan kasih (2 Kor 8:8), kehendak yang bulat
(2 Kor 8:9), dan tekad yang bulat untuk melaksanakan usaha sampai tuntas (2 Kor
8:6,10-11). Pelaksanaan pengumpulan sumbangan yang diprakarsai oleh Paulus
cukup lama macet karena adanya perselisihan dalam jemaat Korintus. Persoalannya
sudah dipecahkan, kegiatan untuk melanjutkan dan menyelesaikan aksi pengumpulan
perlu dimulai kembali. Pada mulanya, kegiatan itu dirancang dengan sangat baik
dan penuh semangat, tetapi lama-kelamaan tertunda dan akhirnya berhenti. Namun,
ketika kasih bergerak (2 Kor 8:24) dengan “perbuatan dan dalam kebenaran” (1
Yoh 3:18), maka kesungguhan memberi akan tepat sasaran. Jikalau ada tekad bulat
untuk mewujudkan apa yang pernah dirancang, maka hasil pun akan dicapai.
Kegiatan pengumpulan sumbangan itu menuntut ketekunan, apalagi karya itu
berlangsung selama kurang lebih 1,5 tahun!
Untuk itu, kita dapat belajar
dari cara Paulus yang sanggup “menghidupkan kembali” aksinya. Meskipun
pengumpulan sumbangan untuk jemaat di Yerusalem sangat lambat, tetapi Paulus
tidak menyerah. Dia menghimbau jemaat-jemaat untuk tidak mengenal lelah dan
melanjutkan aktivitas itu dengan semangat yang semula sambil mengutus beberapa
teman seiman yang ia percayai untuk turut mempercepat pelaksanaan aksi itu!
Orang Katolik yang memberi
dengan tekun tidak usah bingung mengenai perbelanjaan esok hari. Seorang
penyokong yang memberi dengan tetap, tidak akan menghadapi kekurangan, sebab:
“Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya
dalam Kristus Yesus” (Filp 4:19). Siapa memberi kepada Allah dengan tekun dan
sukacita akan mendapati bahwa Tuhan tidak membiarkan orang itu hidup dalam
kesukaran. Adapun ketakutan ini, kita diingatkan pada pertanyaan Yesus kepada
murid-murid-Nya, setelah mereka hidup bersama selama tiga tahun. “Ketika Aku
mengutus kamu dengan tiada membawa pundi-pundi, bekal dan kasut, adakah kamu
kekurangan apa-apa?” Jawab mereka, “Suatu pun tidak” (Luk 22:36). Dari
kemurahan Bapa-Nya, Yesus selalu menyediakan kelimpahan. Ribuan orang
dikenyangkan, malah sisa roti masih dua belas bakul penuh (bdk. Mat 14:20).
Tamu-tamu perayaan perkawinan mendapat kira-kira 240 liter anggur kualitas
tinggi untuk pesta di desa Kana itu (bdk. Yoh 2:1, dst). Tanpa Bapa di surga
memberi dengan tekun, hal itu hanya sekedar tugas wajib. Dengan Tuhan kita,
pemberian yang dilakukan dengan tekun akan menjadi salah satu pengalaman orang
Katolik yang berbahagia.
4.8. Memberi Diri Sendiri
Orang-orang Kristen Makedonia
“memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah, kemudian ... juga kepada
kami” (2 Kor 8:5). Mereka tidak menyubangkan sekedar sesuatu jumlah uang,
“habis perkara”; mereka melibatkan diri sepenuhnya dalam aksi yang mendesak
itu, mereka mengidentifikasikan diri dengan suatu tugas yang erat hubungannya
dengan misi Paulus. Jemaat-jemaat misi menyerahkan dirinya kepada tugas
tersebut sebagai orang Kristen baru yang ingin mengikuti Yesus yang telah
menyerahkan diri kepada manusia yang menderita. Jadi pemberian-pemberian mereka
yang unggul boleh disebut sebagai suatu korban tulen yang terutama diserahkan
kepada Tuhan, kemudian kepada umat seiman di daerah yang jauh, yaitu Yerusalem.
Kesungguhan memberi diri sendiri menjadi suatu teladan yang pantas ditiru oleh
jemaat-jemaat lainnya, khususnya di Korintus. Hasilnya, jauh lebih besar
daripada yang diharapkan.
4.9. Memberi dengan Teratur dan Tertib
Pengumpulan pemberian tidaklah
dilaksanakan Paulus seorang diri. Rasul itu menjalankan misi tersebut bersama dengan
Titus dan dua utusan yang dipilih dan ditugaskan oleh jemaat-jemaat yang
memercayainya. Ketiga teman seniman Paulus itu merupakan utusan-utusan andalan
yang imannya kuat, menjiwai tugas pelayanan kasih dan mandiri dalam upaya
mengawasi pelaksanaannya. Mereka senantiasa waspada agar seluruh urusan yang
berkenaan dengan pengumplan sumbangan itu berlangsung dengan teratur dan
tertib. Oleh karena itu, Paulus memberi suatu gelar atau penghargaan yang
sangat istimewa kepada utusan-utusan jemaat Yunani, yaitu “doksa Tuhan”, “suatu
kemuliaan bagi Kristus” (2 Kor 8:23).
Sekilas, tugas pelayanan
mereka sebenarnya sederhana saja, tetapi diberi suatu kualifikasi rohani yang
luar biasa. Meskipun mereka jemaat biasa, namun mereka setia dan bertanggung
jawab sehingga patu dihargai dengan martabat rohani yang mulia. Kesetiaan dan
rasa tanggung jawab itu mereka lakukan atas dasar prinsip utama: persembahan
yang dipercayakan jemaat merupakan suatu “harta benda” yang harus dihargai.
Sebab itu, pemanfaatan dana-dana tersebut berjalan dengan tertib sehingga tidak
menimbulkan keragu-raguan bagi umat.
4.10. Memberi dengan Ucapan Syukur dan Puji-pujian
“Syukur kepada Allah karena
karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2 Kor 9:15). Paulus mengakhiri kedua
surat pengumpulan sumbangannya dengan ucapan syukur. Baik para dermawan, maupun
para penerima terdorong untuk mengucap syukur dan terimakasih atas kasih
karunia Allah yang tidak terkatakan. Tetapi, kita melihat juga kenyataan bahwa
syukur sering tanpa tindak lanjut, sehingga tidak menjadi konkret dalam
dedikasi kepada sesama.
Ada satu fenomena yang dapat
kita lihat dalam dunia modern sekarang ini. Manusia tidak puas atas hidup
mereka, karena mereka telah memisahkan pemberian dari Pemberi, yaitu Tuhan.
Siapa yang tidak menghormati Sang Pemberi, tidak menghargai pemberian-Nya.
Karena itu, sangat perlu menghubungkan kembali segala kebajikan yang orang
terima, bahkan sering dengan kelimpahan, dengan Sang Pencipta. Melalui rasa dan
ucapan syukur terwujudlah kontak dengan Pemberi, yaiut Allah dan sesama
manusia. Rupanya sikap berterimakasih kepada Tuhan harus dipelajari ulang,
mulai dengan doa makan sampai sharing
kebutuhan sesama!
Paulus yakin bahwa pelayanan
kasih jemaat Kristen Yunani untuk jemaat Yahudi di Yerusalem turut “melimpahkan
ucapan syukur kepada Allah” (2 Kor 9:12b). Kalau jemaat-jemaat kita sadar bahwa
persembahan mereka mendatangkan puji-pujian akan Tuhan, maka mereka mendahului
apa yang akan dilakukan seluruh ciptaan padamasa eskatologis. Allah menciptakan
kita untuk menjalankan hidup menjadi puji-pujian akan nama-Nya. Siapa yang
memberi dengan motivasi rasa syukur, akan menjalankan hidup yang penuh berkat
dan sukacita yang Tuhan karuniakan kepada-Nya.
Apa yang terjadi dalam
pemberian antara Allah dan manusia, tidak mengikuti logika do ut des, tetapi logika “kami memberi karena Engkau telah beri”.
Inilah dasar dan tujuan ucapan syukur dan terima kasih yang mempermuliakan
anugerah Allah yang tidak terkatakan!
5. KESIMPULAN
Dari uraian di atas kita dapat
menyimpulkan beberapa hal. Pertama, pesta panen adalah tradisi gereja dan
masyarakat yang sudah lama dirayakan. Pesta panen merupakan suatu perayaan
ucapan syukur atas segala anugerah Tuhan kepada manusia.
Kedua, bentuk perayaan pesta
panen bervariasi dari daerah dan zaman yang berbeda. Waktu pelaksanaan pesta
panen berbeda juga sesuai dengan kebiasaan setempat. Tetapi baik di desa,
maupun di kota, baik dulu maupun sekarang inti dari peryaan ini tetap sama,
yaitu bersyukur dan berterimakasih atas pemberian anugerah hidup dan hasil bumi
yang boleh dinikmati manusia.
Ketiga, ada beberapa sikap
yang perlu dalam hal memberi, dan menyampaikan pemberian. Sikap-sikap itu mau
menggambarkan bagaimana penghayatan dan sikap batin seseorang dalam
menyampaikan pemberian dan persembahannya. Sikap yang baik tentu akan
memperoleh hasil yang berlimpah.
Panguruan, 09 September 2014
RP. Herman Nainggolan, OFMCap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar