Madah Kemuliaan dalam Liturgi
Sdr. Emmanuel J. Sembiring
OFMCap.
Artikel kecil ini
saya tulis bagi Saudara dalam semangat berbagi. Mudah-mudahan menambah
informasi kepada Saudara, khususnya dalam rangka persiapan Natal dan perayaan
liturgi umumnya.
Gloria
in excelsis Deo, lagu dari PS 456, PBN dan BETK 444, PMD 233, di beberapa tempat dinyanyikan
sebagai pengganti Madah Kemuliaan
sesudah Kyrie eleison. Alasannya
barangkali agar perayaan Natal lebih meriah dari perayaan biasa, lagu itu amat
populer, dicintai, cocok mencipta suasana, dst. Bila sedikit dicermati ternyata
lagu dalam keempat buku nyanyian itu dimaksudkan sebagai lagu Masa Natal, bukan
bagian Ordinarium. Dengan demikian,
pastilah penyusun buku-buku tersebut tidak merancang lagu “Gloria …” itu akan
dinyanyikan menggantikan Madah Kemuliaan.
Praktek mengganti Madah
Kemuliaan dengan lagu “Gloria …” itu sudah lama berlangsung di Keuskupan Agung
Medan, mungkin pun terjadi di tempat lain. Kebiasaan ini bagi sejumlah orang tidak
menggembirakan, mengingat peraturan yang ada. Perasaan yang sama meliputi
banyak orang bila lagu “Gloria …” tidak menggantikan Madah Kemuliaan yang tiap
Minggu dan pesta telah dinyanyikan. Mana yang benar? Jawaban: ini benar, itu
salah, terkesan rubrikistis yang telah ditinggalkan oleh Konsili Vatikan II.
Konsili berharap agar nilai-nilai rohani yang terbungkus dalam aturan (norma)
liturgi diterangkan kepada umat beriman. Sehubungan dengan Madah Kemuliaan,
Gereja menetapkan norma yang selanjutnya perlu dijelaskan kepada umat misalnya
dalam katekese.
Ketetapan
Resmi Gereja
Madah Kemuliaan yang dimuat
dalam TPE 2005 merupakan teks resmi Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa
Latin. Teks ini dapat diberi melodi sesuai dengan musik daerah namun kata-katanya
jangan diubah, ditambah atau dikurangi, tanpa refren (ulangan). Penegasan ini
dinyatakan dalam PUMR No. 53, “Teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks
lain”. Penegasan larangan ini bukanlah hal baru dalam Gereja. Paus Pius V telah
menyatakannya pada tahun 1570. Larangan yang telah dipelihara berabad-abad
pastilah memiliki alasan kuat, mendasar dan otentik tentang iman, bukan karena
sikap tertutup Gereja akan perkembangan (pembaruan).
Ketika penegasan ini
disosialisasikan di Indonesia terjadilah pro dan kontra dengan argumen
masing-masing. Beberapa “Madah Kemuliaan” dalam Puji Syukur atau Madah Bakti seyogianya
tidak lagi dipakai, namun masih beredar menunggu kedua buku itu direvisi. Penegasan
PUMR No. 53 itu, perlulah disampaikan kepada umat alasan mendasarnya. Katekese
liturgi!
Lahirnya
dalam Liturgi
Madah Kemuliaan yang resmi
kita kenal sekarang ini, lahir pada masa penganiayaan orang-orang kristen
pertama, abad ke-2. Teks yang luar biasa indah ini (puitis) mengungkapkan
kesaksian iman orang-orang kristen di masa penganiayaan. Teks aslinya digubah
dalam bahasa Yunani, bahasa Gereja waktu itu. Syair awal dikutip dari Injil Luk
2:14, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di
bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”. Karena itu Madah Kemuliaan
ini juga disebut Hymnus Angelicus
(Madah Malaikat). Terhadap kata-kata malaikat ditambahkan beberapa aklamasi
yang terinspirasi dari Kitab Suci, “Kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau,
kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, kami bersyukur kepada-Mu karena
kemuliaan-Mu yang besar; dan selanjutnya permohonan-permohonan lain, “Ya Tuhan
Allah, Anak Domba Allah, Putra Bapa, yang menghapus dosa dunia …”.
Pada mulanya Madah Kemuliaan
ini bukanlah digunakan dalam Misa melainkan pada akhir doa yang dimulai dari
tengah malam sampai subuh (pagi). Saat ini orang-orang kristen bertemu; mereka
melambungkan nyanyian pujian kepada Kristus seperti kepada Allah. Madah ini
menjadi bagian integral dalam doa pagi orang-orang kristen kuno.
Adalah Paus Telesphorus (128-139) yang mengaturkan pertama kali Madah Malaikat ini dimasukkan ke dalam Perayaan Ekaristi pada
Malam Natal sebelum persiapan persembahan. Ketika teks ini diterjemahkan ke
bahasa Latin oleh St. Hilarius dari Poitiers (sangat mungkin pada tahun 360),
ia menambahkan: Karena hanya Engkaulah
kudus dan bersama dengan Roh Kudus.
Dengan demikian Madah Kemuliaan ini menjadi doksologi trinitaris. Teks resminya
diumumkan oleh Konsili
Laodicea (antara tahun 343-381).
Sampai abad ke-6
Madah Kemuliaan dinyanyikan hanya bila Paus yang memimpin Misa yakni pada Malam
Natal.
Selanjutnya Madah Kemuliaan
diresitir bukan hanya pada Malam Natal, tetapi juga pada hari Minggu (aspek
Paska) dan pesta para Martir (aspek kelahiran baru). Perluasan pemakaian Madah
ini ditetapkan oleh Paus Symmachus (498-514). Ia juga mengizinkan Uskup
meresitirnya segera setelah Kyrie eleison.
Pada abad ke-6 imam hanya bisa meresitirnya pada Malam Paska dan saat tahbisan.
Menjelang akhir abad ke-11 pemakaian Madah Kemulian diperluas lagi untuk
pesta-pesta orang Kudus, tetapi tidak untuk Adven dan Puasa; juga dapat diresitir
oleh imam (bukan lagi hanya pada Paska dan tahbisan). Demikianlah Madah
Kemuliaan menjadi satu bagian dalam Misa seperti sekarang ini kecuali Masa
Puasa dan juga Adven sebab Adven dihayati memiliki aspek puasa.
Pada abad pertengahan menjamur
kreativitas seputar Madah Kemuliaan ini. Misalnya ayat-ayat tertentu dimasukkan
ke dalam teks ini untuk kesempatan khusus, misalnya dalam pesta-pesta Santa
Perawan Maria. Ada penambahan. Ide Madah
itu menjadi kabur. Rubrik liturgi saat itu telah mencatat, bila Madah Kemuliaan
dinyanyikan, baiklah tanpa ada tambahan. Aturan ini tidak ditaati di beberapa
tempat, tambahan pada Madah ini tetap ada sampai Konsili Trente. Sesudah
konsili ini Paus Pius V pada tahun 1570 meminta agar Misale Romawi direvisi.
Pada tahun itu dalam bulla Quo primum
Paus ini melarang ada penambahan teks lain pada Madah Kemuliaan atau
mengubahnya. Jadi, teks dari zaman kristen kuno-lah yang tetap dipakai.
Memuat Rencana Penebus yang
Lahir dan Bangkit
Madah Kemuliaan diyakini memuat
rencana Penebus bagi manusia: Kristus turun ke dunia. Dia menjadi manusia. Dia
naik ke salib dengan tujuan ganda: mengembalikan kemuliaan kepada Bapa-Nya yang
sempat dirusak oleh dosa; mendamaikan manusia dengan Allah dan membawa damai
bagi manusia. Jadi, kemuliaan Allah dan damai bagi manusia merupakan tujuan
seluruh penebusan dan juga tujuan Gereja serta tujuan kita; semuanya dirangkum
dalam Misa. Kita merayakan kurban kudus untuk memuliakan Tuhan serentak memohon
damai bagi kita yakni pengampunan dosa dan rahmat penebusan. Demikianlah isi
doa yang indah ini, Kidung Malaikat yang berkata, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang
mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan
kepada-Nya”.
Atas rencana Penebus itu
disampaikan pujian serentak syukur kepada Bapa surgawi. Kita beri perhatian
utama pada ayat berikut, “Kami bersyukur kepada-Mu, karena kemuliaan-Mu yang
besar”. Umumnya kita bersyukur setelah kebaikan kita terima. Dalam Madah
Kemuliaan terjadi sebaliknya, kita bersyukur agar dapat ambilbagian dalam
kebesaran dan keluhuran Allah, kita bersyukur karena bisa memuji-Nya (bagian
pertama Madah ini).
Pada bagian kedua, pujian
serentak permohonan diarahkan kepada Putra Ilahi. Dia yang adalah Anak Domba
telah menghapus dosa-dosa dunia dengan mengurbankan Diri sehingga damai
diberikan kepada kita. Permohonan ini kita panjatkan tiga kali kepada Tuhan
yang duduk di sisi kanan Bapa. Kita akhiri bagian kedua ini dengan sebuah pujian
kepada Kristus: hanya Dialah yang kudus dan mahatinggi.
Pada akhir (bagian ketiga)
secara singkat disebut Roh Kudus dan secara tepat mengungkapkan hubungan dengan
dua pribadi ilahi (Allah dan Yesus). Jadi, Madah Kemuliaan ini adalah
penghormatan terhadap Tritunggal yang Mahakudus. Dengan menyanyikannya, kita
mengungkapkan sukacita penebusan yaitu kemuliaan bagi Allah dan damai di bumi.
Merangkum apa yang sudah
disebut di atas, menariklah mengutip katekese Paus Benediktus XVI pada tgl 27
Desember 2006. Madah Kemuliaan menjadi bagian liturgi sekarang ini terarah
kepada kelahiran Yesus. Dimasukkan pada awal Perayaan Ekaristi, Madah Kemuliaan
berperan untuk menekankan kontinuitas antara kelahiran dan kematian Kristus,
antara Natal dan Paska, aspek yang tak terpisahkan dari misteri keselamatan.
Kembali
ke tradisi
Natal terarah kepada Paska.
Ajaran ini dimuat dalam Madah Kemuliaan yang sangat dihormati dari zaman
kristen kuno (PUMR No. 53), secara indah memuat pernyataan iman. Para ahli
berpendapat bahwa Madah ini merupakan nyanyian kristen yang paling antik,
paling indah dari madah yang ada, paling populer, dihormati setara dengan
Mazmur, doksologi utama dan teragung; sarat dengan muatan Natal dan Paska yang
keduanya menyatu sebagai jantung iman Katolik. Kesatuan Natal dengan Paska
(disebut juga jantung utama Tahun Liturgi) mengharuskan
liturgi juga mengekspresikan misteri Paska dalam liturgi hari Natal seperti terlihat
dalam bacaan kedua pada Misa tengah
malam, ”Yesus Kristus... menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita
dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat,
kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik (Tit 2:14).
Penjelasan di atas membuat
kita semakin dapat memahami mengapa nyanyian liturgis lebih mengutamakan syair
ketimbang melodi, lebih lagi atas teks resmi (yang baku) seperti Madah
Kemuliaan. Kemeriahan melodi sebagai alasan mengganti Madah Kemuliaan (sesudah Kyrie eleison) dengan lagu lain, kiranya
tidak setara dengan hakekat Madah tersebut. Apa lagi di saat Natal! Awal
masuknya ke dalam Perayaan Ekaristi justru pada Malam Natal. Lupa akan hal ini
membuat kita cenderung memilih suasana meriah yang diiringi dentang lonceng
gereja dan gong. Suasana itu dapat mengaburkan kata-kata Madah Kemuliaan.
Sayang! Mungkin lebih baik kita kembali lagi ke teks tradisional itu, setia
dengan teks resmi. Di dalamnya termuat nilai-nilai rohani baik dari Kitab Suci
maupun dari tradisi serta ajaran resmi Gereja yang menjadi sumber iman kita.
***
Nagahuta, 20 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar