Jumat, 23 Desember 2011

Pesan Natal 2011

Aku seorang asing!
Prot. N. 00866/11


Saudara-saudara kapusin tercinta, tahun ini juga, untuk keenam kalinya, saya menulis pesan ini kepadamu, mengucapkan selamat Hari Raya Natal. Ucapan selamat ini juga ditujukan kepada saudari-saudari kapusin di seluruh dunia di biara mereka masing-masing.

Renungan saya bertolak dari kisah Matius pada bab kedua Injilnya, di mana dikabarkan bagaimana Yusuf bersama istrinya Maria dan kanak-kanak Yesus terpaksa lari menyingkir ke Mesir. Dia yang diakui oleh para bangsa melalui ketiga orang majus yang datang dari timur, Dia itu ditentang, malah dibuang dengan ancaman akan dibunuh oleh raja Herodes. Ia harus lari jauh, menyingkir, jangan sampai nyawanya dicabut. Sejak awal, terdapat bayangan gelap di ufuk pandangan atas hidup ini, yakni bayangan salib. Hal itu berarti bahwa Natal tidak mungkin dihayati dan dirayakan sebagai pesta terpisah dari lanjutan jalan hidup Yesus. Dari satu segi terdapat kegembiraan besar karena kelahiran Penyelamat. Dari pihak lain kita diingatkan bahwa hidup itu takkan mudah bagi-Nya. Penyerahan diri dengan rela di salib menjadi tebusan kita. Kesediaan-Nya meminum sampai tetes terakhir cawan yang diberikan Bapa kepada-Nya (Yoh 18,11), kesediaan itu mulai dengan lari menyingkir.

Saudara-saudari, maaflah, saya tidak bermaksud merusak pestamu, saya hanya ingin mengingatkan bahwa di samping kegembiraan Natal, perlu disadari juga betapa sungguh bayangan salib hadir dalam kisah-kisah masa kanak-kanak Yesus. Cukup mengingat ucapan Simeon tua kepada Maria: “Suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (Luk 2,35), sebab Dia yang lahir dari padanya “menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan” (Luk 2,34).
Pengungsian ke Mesir mengingatkan perbudakan umat Israel. “Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku” (Mat 2,15). Ucapan ini mengenang pemenuhan janji-janji, sambil menunjuk hubungan erat dan solidaritas nyata Anak Allah yang menjadi manusia dan lahir dari Maria dengan sejarah pedih umat-Nya. Sejarah itu ditandai oleh kehancuran, deportasi, pengungsian, pemusnahan.
Bila pandangan diarahkan kepada masa kini, bersama sajian harian Media massa kita, ternyata sejarah pengungsian dan pembuangan belum berakhir. Dewasa ini juga, betapa banyak orang terpaksa meninggalkan tanah airnya karena ancaman perang, pemerintahan diktator, ekonomi lemah, kelaparan. Di Italia misalnya sepanjang satu tahun ini tak putus-putusnya harus disaksikan pendaratan kapal-kapal yang berangkat dari pantai utara Afrika penuh manusia yang mencari keamanan atau rezeki. Setelah membayar amat mahal, mereka dimuatkan dan dipadat-padatkan pada kapal yang jauh dari aman. Betapa banyak dari mereka, dari semua tingkat umur, tidak mencapai pantai pulau Lampedusa di Italia, karena angin dingin atau laut sudah menelan mereka sebelumnya. Di belahan dunia yang lain, tapal batas antara Meksiko dan USA merupakan daerah panas, karena jumlah tinggi imigran gelap, orang yang berusaha menyelundup melewati tapal batas itu dengan harapan mendapat pekerjaan atau penghasilan cukup untuk membantu keluarga yang mereka tinggalkan di tanah air. Berapa banyak dari mereka berhasil mewujudkan impian itu? Berapa banyak dari mereka ditolak? Kurang kata untuk menjalin riwayat kesulitan dan musibah yang kita saksikan itu.
Di bulan September tahun ini di Lima diadakan pertemuan tentang migrasi, diselenggarakan oleh pelayanan Keadilan Pendamaian dan Kepedulian akan Ciptaan bagi saudara-saudara dari seluruh Amerika dan kepulauan Caraibe. Pertemuan itu dimaksud pertama-tama bagi saudara-saudara pendamping para perantau, yang melibatkan diri pada salah satu cara di tingkat mana pun, tetapi juga membuka kesempatan bertemu bagi semua saudara. Pertemuan itu dapat dan ternyata juga benar menjadi kesempatan memperbaiki dan meningkatkan koordinasi kehadiran dan kegiatan di bidang itu. Pengungsian terpaksa Keluarga kudus menuju Mesir membuka peluang untuk menegaskan betapa Yesus solider dengan sejarah kemudian, sesudah jalan hidup-Nya sendiri berakhir. Solidaritas-Nya mencakup para penderita di semua zaman, dalam hal ini khususnya yang menjadi “seorang asing” (Mat 25,35).
Saudara-saudara, saya ingin sekadar mengundang dirimu mengambil waktu sejenak memikirkan cara saudara merayakan Natal tahun ini, dengan mengingat penderitaan dan kesusahan yang kusebut tadi. Bagaimana bila setiap persaudaraan bersama-sama menunjukkan tanda solidaritas terhadap “seorang asing” di sekitar kita? Ia asing bukan atas pilihan bebas, tetapi karena terancam dalam martabat kemanusiaan, selaku pribadi yang diciptakan menurut gambar dan citra Allah. Saya bayangkan ada banyak cara untuk membuatnya: mengundang salah seorang ikut makan, atau mengantar sesuatu kepada orang itu, bukan dari kelimpahan kita, tetapi dari penghematan, dari nafkah kita sendiri, supaya Natal orang ini, jauh dari keluarga dan tanah air menjadi kurang sedih. Cara lain untuk berbuat sesuatu itu mungkin saja menawarkan diri ikut membantu salah satu Organisasi yang bergiat demi pengungsi. Pasti ada banyak cara melibatkan diri di bidang ini, tetapi yang penting bagi saya ialah supaya masing-masing saudara bergerak membuat sesuatu, biar kecil saja. Sabda Allah yang hidup berkata: “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis 20,35). Cobalah merasakannya dengan tindakan nyata. Pasti membahagiakan, sebab Injil itu bukan dongengan. Perayaan Natal, Natal saudara dan Natal kita semua pasti menjadi lebih asli rasanya. Boleh jadi rasa itu belum pernah sungguh dialami sebelumnya! Memang, garam Injil memperbaharui segala sesuatu!
Dengan ini dari segenap hati saya ucapkan selamat Natal. Semoga Natal ini indah dan ditandai oleh salah satu tindakan yang menyatukan kita dengan karya Yesus di jalan-jalan Galilea, Samaria, Judea dan daerah kafir Tirus dan Sidon, dalam menerima dan menyembuhkan orang (Mrk 7,24)! SELAMAT NATAL!
Roma, 22 Desember 2011

Fr. Mauro Jöhri
Minister general OFMCap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar