Minggu, 21 Desember 2014

Madah Kemuliaan dalam Liturgi



Madah Kemuliaan dalam Liturgi


Sdr. Emmanuel J. Sembiring OFMCap.

Artikel kecil ini saya tulis bagi Saudara dalam semangat berbagi. Mudah-mudahan menambah informasi kepada Saudara, khususnya dalam rangka persiapan Natal dan perayaan liturgi umumnya.


Gloria in excelsis Deo, lagu dari PS 456, PBN dan BETK 444, PMD 233, di beberapa tempat dinyanyikan sebagai pengganti Madah Kemuliaan sesudah Kyrie eleison. Alasannya barangkali agar perayaan Natal lebih meriah dari perayaan biasa, lagu itu amat populer, dicintai, cocok mencipta suasana, dst. Bila sedikit dicermati ternyata lagu dalam keempat buku nyanyian itu dimaksudkan sebagai lagu Masa Natal, bukan bagian Ordinarium. Dengan demikian, pastilah penyusun buku-buku tersebut tidak merancang lagu “Gloria …” itu akan dinyanyikan menggantikan Madah Kemuliaan.

Praktek mengganti Madah Kemuliaan dengan lagu “Gloria …” itu sudah lama berlangsung di Keuskupan Agung Medan, mungkin pun terjadi di tempat lain. Kebiasaan ini bagi sejumlah orang tidak menggembirakan, mengingat peraturan yang ada. Perasaan yang sama meliputi banyak orang bila lagu “Gloria …” tidak menggantikan Madah Kemuliaan yang tiap Minggu dan pesta telah dinyanyikan. Mana yang benar? Jawaban: ini benar, itu salah, terkesan rubrikistis yang telah ditinggalkan oleh Konsili Vatikan II. Konsili berharap agar nilai-nilai rohani yang terbungkus dalam aturan (norma) liturgi diterangkan kepada umat beriman. Sehubungan dengan Madah Kemuliaan, Gereja menetapkan norma yang selanjutnya perlu dijelaskan kepada umat misalnya dalam katekese.

Ketetapan Resmi Gereja

Madah Kemuliaan yang dimuat dalam TPE 2005 merupakan teks resmi Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Latin. Teks ini dapat diberi melodi sesuai dengan musik daerah namun kata-katanya jangan diubah, ditambah atau dikurangi, tanpa refren (ulangan). Penegasan ini dinyatakan dalam PUMR No. 53, “Teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks lain”. Penegasan larangan ini bukanlah hal baru dalam Gereja. Paus Pius V telah menyatakannya pada tahun 1570. Larangan yang telah dipelihara berabad-abad pastilah memiliki alasan kuat, mendasar dan otentik tentang iman, bukan karena sikap tertutup Gereja akan perkembangan (pembaruan).

Ketika penegasan ini disosialisasikan di Indonesia terjadilah pro dan kontra dengan argumen masing-masing. Beberapa “Madah Kemuliaan” dalam Puji Syukur atau Madah Bakti seyogianya tidak lagi dipakai, namun masih beredar menunggu kedua buku itu direvisi. Penegasan PUMR No. 53 itu, perlulah disampaikan kepada umat alasan mendasarnya. Katekese liturgi!

Lahirnya dalam Liturgi

Madah Kemuliaan yang resmi kita kenal sekarang ini, lahir pada masa penganiayaan orang-orang kristen pertama, abad ke-2. Teks yang luar biasa indah ini (puitis) mengungkapkan kesaksian iman orang-orang kristen di masa penganiayaan. Teks aslinya digubah dalam bahasa Yunani, bahasa Gereja waktu itu. Syair awal dikutip dari Injil Luk 2:14, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”. Karena itu Madah Kemuliaan ini juga disebut Hymnus Angelicus (Madah Malaikat). Terhadap kata-kata malaikat ditambahkan beberapa aklamasi yang terinspirasi dari Kitab Suci, “Kami memuji Dikau, kami meluhurkan Dikau, kami menyembah Dikau, kami memuliakan Dikau, kami bersyukur kepada-Mu karena kemuliaan-Mu yang besar; dan selanjutnya permohonan-permohonan lain, “Ya Tuhan Allah, Anak Domba Allah, Putra Bapa, yang menghapus dosa dunia …”.

Pada mulanya Madah Kemuliaan ini bukanlah digunakan dalam Misa melainkan pada akhir doa yang dimulai dari tengah malam sampai subuh (pagi). Saat ini orang-orang kristen bertemu; mereka melambungkan nyanyian pujian kepada Kristus seperti kepada Allah. Madah ini menjadi bagian integral dalam doa pagi orang-orang kristen kuno.

Adalah Paus Telesphorus (128-139) yang mengaturkan pertama kali Madah Malaikat ini dimasukkan ke dalam Perayaan Ekaristi pada Malam Natal sebelum persiapan persembahan. Ketika teks ini diterjemahkan ke bahasa Latin oleh St. Hilarius dari Poitiers (sangat mungkin pada tahun 360), ia menambahkan: Karena hanya Engkaulah kudus dan bersama dengan Roh Kudus. Dengan demikian Madah Kemuliaan ini menjadi doksologi trinitaris. Teks resminya diumumkan oleh Konsili Laodicea (antara tahun 343-381).

Sampai abad ke-6 Madah Kemuliaan dinyanyikan hanya bila Paus yang memimpin Misa yakni pada Malam Natal.

Selanjutnya Madah Kemuliaan diresitir bukan hanya pada Malam Natal, tetapi juga pada hari Minggu (aspek Paska) dan pesta para Martir (aspek kelahiran baru). Perluasan pemakaian Madah ini ditetapkan oleh Paus Symmachus (498-514). Ia juga mengizinkan Uskup meresitirnya segera setelah Kyrie eleison. Pada abad ke-6 imam hanya bisa meresitirnya pada Malam Paska dan saat tahbisan. Menjelang akhir abad ke-11 pemakaian Madah Kemulian diperluas lagi untuk pesta-pesta orang Kudus, tetapi tidak untuk Adven dan Puasa; juga dapat diresitir oleh imam (bukan lagi hanya pada Paska dan tahbisan). Demikianlah Madah Kemuliaan menjadi satu bagian dalam Misa seperti sekarang ini kecuali Masa Puasa dan juga Adven sebab Adven dihayati memiliki aspek puasa.

Pada abad pertengahan menjamur kreativitas seputar Madah Kemuliaan ini. Misalnya ayat-ayat tertentu dimasukkan ke dalam teks ini untuk kesempatan khusus, misalnya dalam pesta-pesta Santa Perawan Maria. Ada penambahan.  Ide Madah itu menjadi kabur. Rubrik liturgi saat itu telah mencatat, bila Madah Kemuliaan dinyanyikan, baiklah tanpa ada tambahan. Aturan ini tidak ditaati di beberapa tempat, tambahan pada Madah ini tetap ada sampai Konsili Trente. Sesudah konsili ini Paus Pius V pada tahun 1570 meminta agar Misale Romawi direvisi. Pada tahun itu dalam bulla Quo primum Paus ini melarang ada penambahan teks lain pada Madah Kemuliaan atau mengubahnya. Jadi, teks dari zaman kristen kuno-lah yang tetap dipakai.

Memuat Rencana Penebus yang Lahir dan Bangkit

Madah Kemuliaan diyakini memuat rencana Penebus bagi manusia: Kristus turun ke dunia. Dia menjadi manusia. Dia naik ke salib dengan tujuan ganda: mengembalikan kemuliaan kepada Bapa-Nya yang sempat dirusak oleh dosa; mendamaikan manusia dengan Allah dan membawa damai bagi manusia. Jadi, kemuliaan Allah dan damai bagi manusia merupakan tujuan seluruh penebusan dan juga tujuan Gereja serta tujuan kita; semuanya dirangkum dalam Misa. Kita merayakan kurban kudus untuk memuliakan Tuhan serentak memohon damai bagi kita yakni pengampunan dosa dan rahmat penebusan. Demikianlah isi doa yang indah ini, Kidung Malaikat yang berkata,  “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya”.

Atas rencana Penebus itu disampaikan pujian serentak syukur kepada Bapa surgawi. Kita beri perhatian utama pada ayat berikut, “Kami bersyukur kepada-Mu, karena kemuliaan-Mu yang besar”. Umumnya kita bersyukur setelah kebaikan kita terima. Dalam Madah Kemuliaan terjadi sebaliknya, kita bersyukur agar dapat ambilbagian dalam kebesaran dan keluhuran Allah, kita bersyukur karena bisa memuji-Nya (bagian pertama Madah ini).

Pada bagian kedua, pujian serentak permohonan diarahkan kepada Putra Ilahi. Dia yang adalah Anak Domba telah menghapus dosa-dosa dunia dengan mengurbankan Diri sehingga damai diberikan kepada kita. Permohonan ini kita panjatkan tiga kali kepada Tuhan yang duduk di sisi kanan Bapa. Kita akhiri bagian kedua ini dengan sebuah pujian kepada Kristus: hanya Dialah yang kudus dan mahatinggi.

Pada akhir (bagian ketiga) secara singkat disebut Roh Kudus dan secara tepat mengungkapkan hubungan dengan dua pribadi ilahi (Allah dan Yesus). Jadi, Madah Kemuliaan ini adalah penghormatan terhadap Tritunggal yang Mahakudus. Dengan menyanyikannya, kita mengungkapkan sukacita penebusan yaitu kemuliaan bagi Allah dan damai di bumi.

Merangkum apa yang sudah disebut di atas, menariklah mengutip katekese Paus Benediktus XVI pada tgl 27 Desember 2006. Madah Kemuliaan menjadi bagian liturgi sekarang ini terarah kepada kelahiran Yesus. Dimasukkan pada awal Perayaan Ekaristi, Madah Kemuliaan berperan untuk menekankan kontinuitas antara kelahiran dan kematian Kristus, antara Natal dan Paska, aspek yang tak terpisahkan dari misteri keselamatan.

Kembali ke tradisi

Natal terarah kepada Paska. Ajaran ini dimuat dalam Madah Kemuliaan yang sangat dihormati dari zaman kristen kuno (PUMR No. 53), secara indah memuat pernyataan iman. Para ahli berpendapat bahwa Madah ini merupakan nyanyian kristen yang paling antik, paling indah dari madah yang ada, paling populer, dihormati setara dengan Mazmur, doksologi utama dan teragung; sarat dengan muatan Natal dan Paska yang keduanya menyatu sebagai jantung iman Katolik. Kesatuan Natal dengan Paska (disebut juga jantung utama Tahun Liturgi) mengharuskan liturgi juga mengekspresikan misteri Paska dalam liturgi hari Natal seperti terlihat dalam bacaan kedua pada Misa tengah malam, ”Yesus Kristus... menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik (Tit 2:14).

Penjelasan di atas membuat kita semakin dapat memahami mengapa nyanyian liturgis lebih mengutamakan syair ketimbang melodi, lebih lagi atas teks resmi (yang baku) seperti Madah Kemuliaan. Kemeriahan melodi sebagai alasan mengganti Madah Kemuliaan (sesudah Kyrie eleison) dengan lagu lain, kiranya tidak setara dengan hakekat Madah tersebut. Apa lagi di saat Natal! Awal masuknya ke dalam Perayaan Ekaristi justru pada Malam Natal. Lupa akan hal ini membuat kita cenderung memilih suasana meriah yang diiringi dentang lonceng gereja dan gong. Suasana itu dapat mengaburkan kata-kata Madah Kemuliaan. Sayang! Mungkin lebih baik kita kembali lagi ke teks tradisional itu, setia dengan teks resmi. Di dalamnya termuat nilai-nilai rohani baik dari Kitab Suci maupun dari tradisi serta ajaran resmi Gereja yang menjadi sumber iman kita. ***


Nagahuta, 20 Desember 2014

Senin, 15 Desember 2014

Pesan KWI Menyongsong Tahun Hidup Bakti 2015



Pesan KWI Menyongsong Tahun Hidup Bakti 2015

“Betapa Indah Panggilan-Mu, Tuhan!”(bdk Mzm 84:2)

Saudara-saudari Umat Beriman, para Imam, Frater, Bruder dan Suster yang terkasih,

Dalam pertemuan dengan para Pemimpin Umum Tarekat Religius di Roma pada tanggal 27-29 November 2013, Paus Fransiskus mencanangkan tahun 2015 sebagai Tahun Hidup Bakti. Pada tahun yang sama Gereja memperingati 50 tahun dua dokumen penting Konsili Vatikan II, yaitu Perfectae Caritatis (Dekret Tentang Hidup Bakti) dan Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis Tentang Umat Allah). Kedua Dokumen ini secara khusus berbicara tentang hidup bakti. Kita juga mengenang dengan rasa syukur Dokumen Konsili Ad Gentes yang berbicara tentang peran khusus komunitas hidup bakti dalam perutusan Gereja. Tahun Hidup Bakti akan dibuka secara resmi pada tanggal 21 November 2014 dan akan ditutup pada tanggal 21 November 2015. Pada tanggal 21 November itu diperingati Santa Perawan Maria Dipersembahkan Kepada Allah. Sepanjang tahun itu seluruh umat diajak untuk berdoa dan merenungkan makna hidup bakti bagi hidup dan tugas perutusan Gereja. Hidup Bakti dipahami sebagai hidup yang dipersembahkan kepada Allah dengan kesetiaan mengikuti dan melaksanakan nasihat-nasihat Injil dalam ketaatan, kemurnian dan kemiskinan. Hidup Bakti merupakan tanda nyata dari cita-cita kesempurnaan hidup kristiani yang ditawarkan Allah kepada seluruh umat beriman.

Makna dan Tujuan Tahun Hidup Bakti

Pencanangan Tahun Hidup Bakti patutlah disyukuri sebagai ajakan kepada seluruh Gereja untuk semakin menyelami makna dan pentingnya pilihan hidup bakti sebagai salah satu bentuk panggilan khusus untuk hidup dan karya pelayanan Gereja. Lebih jauh pencanangan itu dimaksudkan untuk mengobarkan semangat dan cinta putra-putri Gereja agar semakin terbuka, lapang hati dan dengan keberanian iman menjawab panggilan Allah. Tahun Hidup Bakti patutlah dijadikan kesempatan untuk merenung dan membaharui komitmen kesetiaan kepada Tuhan, kepada pelayanan Gereja, kepada pemikiran dan cita-cita dasar pendiri tarekat masing-masing, dan kepada masyarakat pada zaman ini, meskipun ditemui banyak kesulitan dan tantangan. Kesempatan ini sungguh tepat untuk merenungkan kembali bagaimana seluruh umat beriman, khususnya kaum muda, dipanggil Allah untuk mempersembahkan seluruh hidup melalui penghayatan akan nasihat-nasihat Injil demi kemuliaan Allah dan keselamatan sesama serta keutuhan alam ciptaan. Tokoh iman yang patut dijadikan suri-teladan dalam kehidupan demikian adalah Bunda Maria, yang sungguh berserah-diri secara total kepada Allah dengan menyimpan segala perkara iman dalam hatinya dan merenungkannya.

Tujuan mulia dari pencanangan Tahun Hidup Bakti: Pertama, untuk “mengenang dengan penuh syukur masa lalu”. Kendatipun turut mengalami tantangan dari krisis yang melanda dunia dan Gereja, para pemeluk hidup bakti tetap berusaha hidup di dalam pengharapan. Gereja bersyukur karena hidup dan pelayanan tarekat-tarekat hidup bakti tidak didasarkan semata-mata atas kekuatan manusia, tetapi terlebih atas iman dan harapan kepada Allah. “Karena kami mempunyai pengharapan yang demikian, maka kami berani bertindak dengan penuh keberanian” (2Kor 3:12). Diteguhkan oleh sabda Kristus, para pemeluk hidup bakti memperoleh keyakinan untuk turut berucap: “Di dalam Dia, tidak ada yang dapat merampas harapan kita” (bdk. Yoh 16:22). Kedua, untuk “merangkul masa depan dengan harapan”. Pengharapan ini tidak dapat menjauhkan hidup umat beriman dari semangat untuk tetap menjalani hidup yang telah dianugerahkan Allah. Para pemeluk hidup bakti tetap berusaha mengarahkan pandangan kepada Kristus yang hidup mulia dalam kemuliaan surgawi. Ketiga, untuk mendorong para religius khususnya agar “menjalani hidup hari ini dengan penuh semangat.” Semangat hidup dengan penghayatan nilai Injili berhubungan dengan “hidup dalam kasih, persahabatan sejati, dan persatuan yang mendalam.” Tahun Hidup Bakti 2015 akan terpusat pada pewartaan Injil, dengan maksud membantu umat beriman makin memahami makna “indahnya mengikuti Kristus” yang terungkap melalui berbagai bentuk panggilan hidup membiara.

Pemeluk Hidup Bakti dan Peranannya dalam Gereja

Dalam setiap zaman ada pria dan wanita yang karena taat kepada panggilan Bapa dan dorongan Roh Kudus, berani mengikuti Kristus dan mengabdikan diri kepada Allah, dengan memusatkan perhatian pada perkara-perkara Tuhan (bdk. 1 Kor 7:34). Meneladani semangat hidup apostolik, mereka bercita-cita meninggalkan segala sesuatu, agar dengan bantuan Roh Kudus dan kebebasan pribadi melayani Allah dan umat beriman melalui penghayatan hidup bakti. Dengan cara hidup yang khusus, para pemeluk hidup bakti turut-serta menjadikan misteri Allah tetap bersinar dan misi Gereja terlaksana dengan cara yang khas. Itulah makna hidup mereka demi pelayanan umat dan pembaharuan masyarakat.

Hidup Bakti adalah suatu cara hidup khusus bagi mereka yang mengalami sapaan pribadi oleh Allah dan menanggapinya secara khas. Sapaan ini pada hakekatnya adalah sapaan kasih, yang menjadikan seorang religius menjadi teguh, bersemangat dan senantiasa gembira dalam menghayati hidup baktinya. Karena cinta yang diperoleh dari perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus itulah para pemeluk hidup bakti mengalami sentuhan rohani dan terdorong untuk menjadi nabi yang siap menjadi pendengar dan pelaku sabda (bdk. Luk 10: 25-37), dan akhirnya mendorong mereka menghayati panggilan hidup mistik, yang nyata dalam hidup doa yang mendalam, serta pada kepekaaan terhadap tanda-tanda zaman.

Harapan ke Depan

Konferensi Pimpinan Tinggi Antar Religius Indonesia (KOPTARI) sebagai lembaga yang menaungi tarekat-tarekat religius Indonesia telah merencanakan sejumlah hal untuk mengisi Tahun Hidup Bakti. Tema yang dipilih adalah “Mensyukuri dan Memberi Kesaksian tentang Keindahan Mengikuti Kristus sebagai Religius”. Ucapan syukur dan kesaksian itu diungkapkan dan diwujudkan dalam berbagai kegiatan.

Dalam kerjasama dengan Gereja setempat, Tahun Hidup Bakti dapat dilaksanakan dengan berbagai kegiatan untuk mengembangkan rasa syukur dan kesadaran iman atas keluhuran panggilan Allah dalam Gereja. Seluruh umat beriman, bukan hanya para pemeluk hidup bakti kami himbau dengan sangat agar berusaha menanamkan rasa syukur dan kagum atas panggilan suci dengan berpedomankan Sabda Tuhan: “Betapa indah panggilanMu, Tuhan!” Usahakan agar kesaksian hidup Injili dan sukacita sebagai orang-orang yang menjalani panggilan hidup bakti selalu terwujud dalam hidup dan pelayanan sebagai bentuk nyata kesaksian atas cinta kasih Allah.

Keuskupan-keuskupan, paroki-paroki, dan terutama keluarga-keluarga Katolik diharapkan selalu membina kerjasama dengan sekolah-sekolah dan terus-menerus mendorong orang muda katolik dan putra-putri Gereja untuk turut berusaha menumbuh-kembangkan rasa cinta atas panggilan hidup bakti. Jadikanlah keluarga-keluarga sebagai lahan persemaian benih panggilan melalui doa, keteladanan iman dan kepekaan atas panggilan Allah.

Kiranya doa Bunda Allah yang termanis Perawan Maria, yang hidupnya merupakan suri teladan bagi semua orang, para pemeluk hidup bakti dari hari ke hari akan makin berkembang dan membuahkan hasil penyelamatan yang makin berlimpah.


Jakarta, 21 November 2014

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA,
Mgr. Ignatius Suharyo Mgr. Johannes Pujasumarta

Rabu, 10 Desember 2014

PESTA PANEN SEBAGAI UCAPAN SYUKUR



PESTA PANEN SEBAGAI UCAPAN SYUKUR



1. PENGANTAR

Pesta panen lebih sering dihubungkan dengan cara hidup orang petani. Pada periode tertentu, para petani menanam padi dan sesudah sekian bulan akan memamen hasil dari padi tersebut. Hal yang sama untuk tanaman-tanaman budidaya lainnya. Bahkan tanaman yang tidak langsung dikelola manusia pun memberikan panen pada waktunya. Misalnya mangga, durian, dan tumbuhan hutan lainnya. Karena itu pesta panen sering dihubungkan dengan kehidupan petani di desa.

Akan lain halnya kalau kita berbicara dengan situasi kehidupan masyarakat di kota, baik kota kecil maupun kota besar. Di sana tidak ada musim panen berkala seperti yang dialami oleh para petani di desa. Tetapi tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai sumber pendapatan. Para pegawai mendapat gaji tetap. Para pekerja buruh mendapat pengahasilan sesuai dengan kesepakatan dengan majikan mereka. Para pedagang mempunyai sumber pendapatan sesuai dengan banyaknya hasil penjualan mereka. Dengan kata lain, orang kota tetap mempunyai sumber pendapatan, yang menjadi sumber penghidupan mereka, yang diperoleh dengan cara lain daripada orang desa.

Dalam tradisi gereja, pesta panen adalah tanda ucapan syukur atas segala berkat yang diperoleh umat Allah dalam hidup mereka sehari-hari. Dan kalau ini merupakan inti dari pesta panen, maka bukan kapan dan bagaimana sumber pendapatan itu menjadi alasan utama untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Baik masyarakat desa dan kota patut merayakan pesta panen sebagai kesempatan bersyukur kepada Tuhan.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa hal tentang pesta panen. Pertama, dijelaskan apa dasar pesta panen itu sesuai dengan pengalaman umat Allah dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kedua, bagaimana perayaan pesta panen itu dialami oleh manusia zaman sekarang. Ketiga, bagaimana sikap yang harus dimiliki oleh orang beriman dalam memberi. Kemudian ditarik beberapa kesimpulan.


2. PESTA PANEN MENURUT KITAB SUCI

Pengalaman umat beriman dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyampaikan bahwa pesta panen itu merupakan pesta sangat penting untuk menyampaikan syukur kepada Tuhan atas segala rahmat yang diterima oleh umat beriman. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan-kutipan Kitab Suci berikut ini.

Janji Allah kepada Abraham dalam (Kej. 12:1-3) adalah bagian dari keyakinan bangsa Israel tentang kepemilikan tanah. Tuhan memanggil Abraham dari negeri Ur Kasdim untuk pergi dan menduduki tanah perjanjian, yaitu tanah Kanaan (kemudian dikenal sebagai tanah Palestina). Tanah tersebut sering dilukiskan sebagai tanah yang berlimpah dengan susu dan madu, yang berarti tanah yang kaya, subur dan produktif. Orang Israel meyakini bahwa tanah perjanjian itu adalah milik Tuhan yang dipinjamkan kepada mereka untuk dikelola dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena itulah tanah itu tidak dapat diperjualbelikan dengan sembarangan, apalagi kepada orang asing.

Setelah peristiwa keluarnya bangsa Israel dari negeri Mesir, Tuhan mengatur kembali tata cara pengelolaan tanah itu dan dibakukan oleh Musa untuk menjadi ‘hukum’ yang harus mereka patuhi, termasuk cara bagaimana mengelola hasil panen dari tanah itu yang dikaitkan dengan kepatuhan mereka beribadah di hadapan Tuhan.

Dalaam Kitab Keluaran (34:21-22) dicatat, “Enam harilah lamanya engkau bekerja, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah engkau berhenti, dan dalam musim membajak dan musim menuai haruslah engkau memelihara hari perhentian juga. Hari raya Tujuh Minggu, yakni hari raya buah bungaran dari penuaian gandum, haruslah kaurayakan, juga hari raya pengumpulan hasil pada pergantian tahun.”

Jelas, hidup mereka tidak terlepas dari iman dan ketaatan mereka kepada Tuhan, termasuk dalam mengatur musim membajak dan musim menuai (panen). Maka pada musim menuai (panen) mereka juga harus memelihara hari perhentian yang dikuduskan untuk Tuhan. Mereka harus merayakan hari raya buah bungaran (buah pertama) dari penuaian gandum sebagai Hari Raya Tujuh Minggu.

Hasil panen itu mereka jadikan sebagai persembahan syukur kepada Tuhan, sekaligus sebagai kesaksian iman mereka bahwa segala sesuatu mereka peroleh dari Tuhan, oleh Tuhan dan untuk Tuhan.

Menurut Kitab Imamat (23:15-20), "Kemudian kamu harus menghitung, mulai dari hari sesudah sabat itu, yaitu waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan, harus ada genap tujuh minggu; sampai pada hari sesudah sabat yang ketujuh kamu harus hitung lima puluh hari; lalu kamu harus mempersembahkan korban sajian yang baru kepada Tuhan. Dari tempat kediamanmu kamu harus membawa dua buah roti unjukan yang harus dibuat dari dua persepuluh efa tepung yang terbaik dan yang dibakar sesudah dicampur dengan ragi sebagai hulu hasil bagi Tuhan. Beserta roti itu kamu harus mempersembahkan tujuh ekor domba berumur setahun yang tidak bercela dan seekor lembu jantan muda dan dua ekor domba jantan; semuanya itu haruslah menjadi korban bakaran bagi Tuhan, serta dengan korban sajiannya dan korban-korban curahannya, suatu korban api-apian yang baunya menyenangkan bagi Tuhan. Kemudian kamu harus mempersembahkan seekor kambing jantan sebagai korban penghapus dosa, dan dua ekor domba yang berumur setahun sebagai korban keselamatan. Imam harus mengunjukkan semuanya beserta roti hulu hasil itu sebagai persembahan unjukan di hadapan Tuhan, beserta kedua ekor domba itu. Semuanya itu haruslah menjadi persembahan kudus bagi Tuhan dan adalah bagian imam. "

Persembahan syukur dari hasil panen juga disebut persembahan unjukan, yang mengacu pada kesaksian dan pembuktian atas iman dan ketaatan mereka kepada Tuhan. Mereka harus menunjukkan dan memberikan persembahan tersebut kepada Tuhan dengan perantaraan imam di Kemah Suci. Tuhan memberi kuasa kepada imam-imam untuk menyatakan persembahan itu layak atau tidak! Semuanya itu haruslah menjadi persembahan kudus bagi Tuhan dan adalah bagian imam! Uniknya, mereka tidak boleh menghabiskan semua hasil panen bagi diri mereka sendiri. Mereka juga harus menyisakannya untuk orang miskin dan orang asing! Dengan kata lain, hidup mereka bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk Tuhan dan sesama yang membutuhkan pertolongan. Dalam hal ini, pemahaman tentang kasih kepada Tuhan (vertikal) dan kasih kepada sesama manusia (horizontal) dapat dipahami sebagai bentuk salib!

Pesta Panen menurut Kitab Kisah Para Rasul. Dalam zaman Perjanjian Baru, Hari Raya Tujuh Minggu tersebut telah menjadi Hari Raya Pentakosta atau Hari Raya Kelimapuluh (Ibr.: khamisysyim yom). Perayaan itu tetap dilaksanakan. Bahkan orang Yahudi perantauan dan orang asing yang beragama Yahudi harus datang ke Yerusalem, yang menjadi pusat perayaan Hari Raya Kelimapuluh. Menurut Kitab Kisah Para Rasul 2: 9-11, di antara mereka ada yang disebut orang Partia, Media Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia. Hari Raya Kelimapuluh menunjuk kepada genapnya hasil pekerjaan, yang dipersembahkan kepada Tuhan. Untuk menentukan mulainya Hari Raya Kelimapuluh ini, orang Yahudi harus menghitung 7 minggu, dimulai dari persembahan gandum pertama yang masak, di mana Paskah itu mulai, sesuai dengan Kitab Imamat 16:9 dan 23:15-17. Demikianlah Hari Raya Kelimapuluh (Pentakosta) terus dirayakan oleh orang Yahudi sebagai pesta ucapan syukur atas hasil panen.

Jemaat Kristen mula-mula menghubungkan Hari Raya Pentakosta dengan peristiwa pencurahan Roh Kudus dan hari lahirnya gereja (ekklesia). Tuhan Allah di dalam Roh Kudus, melalui kesaksian/pemberitaan Injil para rasul, juga berpesta panen di dalam pertobatan 3000 orang yang percaya kepada Yesus Kristus.


3. PESTA PANEN ZAMAN SEKARANG

Dalam Gereja Katolik, pesta panen sudah dirayakan sejak abad ke-3 Masehi. Di Eropah Tengah dan Utara Pesta Syukur Panen dirayakan pada musim gugur, pada bulan September. Upacara serupa terjadi di Israel, Yunani atau di Kekaisaran Romawi pada waktu itu.

Di Jerman Pesta Syukur Panen dirayakan pada Pesta St. Mikael, 29 September karena St. Mikael dinyatakan sebagai pelindung Kekaisaran pada waktu itu. Pada Pesta Syukur Panen diadakan misa, yang disebut Misamikael. Pesta Panen sering dirayakan bersamaan dengan pesta pelindung gereja.

Di banyak tempat di Eropa, perayaan Pesta Syukur Panen diadakan bersamaan dengan pesta pelindung gereja, pesta pelindung paroki, atau pesta pelindung kota. Pesta ini dirayakan dengan meriah dan penuh sukacita. Hasil panen dibawa ke gereja. Di halaman gereja disediakan makanan dan minuman yang boleh dinikmati oleh semua orang. Pesta Syukur Panen ini sering berlangsung tiga sampai empat hari, dari Sabtu sampai Selasa. Orang makan dan minum banyak. Mereka bahagia. Selain makan dan minum, mereka juga menari dan membuat banyak permainan. Dari desa ke desa acara ini berbeda. Pada pesta panen seperti ini, ucapan yang sering muncul adalah “Terimakasih Tuhan. Terimakasih atas buah bumi dan tangan manusia”. Mereka bersyukur atas alam yang memberi panen, manusia yang mengerjakan, dan Tuhan yang memberkati.

Sejak tahun 1972, Konferensi Uskup Jerman menetapkan hari Minggu pertama di bulan Oktober sebagai tanggal tetap, tanpa mengungkapkan pengaturan autentik ini untuk semua masyarakat. "Tahun keselamatan berorientasi sejarah gereja tidak mengenal syukur panen." Meskipun demikian, kebiasaan mengucap syukur atas panen yang baik telah lama di banyak komunitas Katolik telah menjadi umum.” Dalam Pesta Syukur Panen, masyarakat Protestan biasanya merayakan pada hari Minggu setelah Santo Mikael (September 29).

Di Amerika Serikat, "Pesta Syukur Panen" yang dirayakan pada Kamis keempat di bulan November dan merupakan hari libur resmi. Pesta memperingati Pesta Syukur Panen pertama dari Pilgrim. Secara tradisional, ini adalah keluarga memasak kalkun untuk dimakan. Selain itu mereka biasanya merayakan persis seperti Negara Jerman, tetapi Pesta Syukur Panen tidak hanya versi Amerika, Pesta Syukur Panen setidaknya di AS tanpa latar belakang agama. 

Di Kanada, "Pesta Syukur Panen" dirayakan pada Senin kedua di bulan Oktober, dan pada kenyataannya sesuai lebih ke pesta panen Eropa dengan latar belakang Kristen.

Pesta ini dirayakan di banyak negara di seluruh dunia: di Perancis adalah Jour d'Action de rahmat, Belanda - Oogst di Jepang – Niinamesai, di Amerika Serikat - Thanksgiving Day.
Di Jerman, Erntegaben menghiasi altar, atau dibawa ke altar. Dalam banyak masyarakat, tardisi ini juga terkait dengan aksi solidaritas untuk orang-orang yang membutuhkan. Tanggal 5 Oktober di Berlin komunitas Katolik St Albertus Magnus Gereja di Charlottenburg-Wilmersdorf mengundang semua tamu hormat kami untuk Misa Pesta Syukur Panen yang diadakan dengan acara sarapan khusus.

Kedekatannya dengan alam membawa mereka pada kedekatan dengan Sang Sumber Kehidupan, yakni Allah. Hampir di setiap suku budaya bersyukur seperti bisa kita temukan. Di kalangan masyarakat Sunda ada upacara “SEREN TAHUN”. Seren Tahun berarti menyerahkan tahun yang lalu juga tahun yang akan datang. Penyerahan tahun lalu dinyatakan dengan membawa hasil panen untuk dipersembahkan dan menyerahkan tahun yang akan datang berarti berharap akan berkat yang lebih baik kepada Hyang Widi, Tuhan Allah Sang Pencipta.

Hal itu diungkapkan dengan dua hal : pertama dalam ritual doa ibadat yang mendapat prioritas pertama, keduanya dalam bentuk persembahan yang akan dibagikan kepada sesama sebagai wujud sosial. Dengan demikian kita diingatkan bahwa sebagai insan ciptaan Tuhan harus menghayati  dua hal yang utama yakni membangun harmoni relasi dengan Allah Sang Pencipta (secara vertikal) dan membangun harmoni relasi dengan sesama, terlebih dengan yang kekurangan (secara horizontal). Semua yang hadir bergembira dan kemudian makan bersama sebagai wujud kebersamaan dan persaudaraan.

Dalam tradisi kita Batak Toba dikenal dengan istilah “GOTILON”. Gotilon dari manggotil berarti memetik, maksudnya memetik hasil pertanian. Acara ini kini sudah diangkat menjadi tradisi Gereja setempat. Maka setiap stasi setiap tahun mengadakan pesta Gotilon tersebut. Setelah para Sintua (pegurus Dewan Stasi) memuntuskan waktunya maka keputusan itu diumumkan kepada umat.

Pada waktunya, umat akan membawa pasi yang akan dipersembahkan maupun untuk benih yang akan diberkati. Hasilnya dipersembahkan sebagai rasa syukur atas panen yang telah ‘digotil’ maupun permohonan berkat untuk masa yang akan datang dengan berkat atas benih padi yang dibawa. Seperti pada umumnya, pesta memuncak dalam acara makan bersama. Disitulah terungkap kegembiraan dan rasa sukacita bersama atas segala berkat dan kasih Tuhan.

Ada hal yang menarik dari persembahan mereka. Persembahan itu kemudian diserahkan kepada para pengurus gereja sebagai tanda terima kasih atas bimbingan dan pelayanan mereka terhadap umatnya.

Entah dimanapun dan oleh kelompok manapun itu dilakukan tetapi ada hal-hal yang pantas kita simak. Pertama adalah bahwa sikap bersyukur adalah sikap manusia yang sadar akan hidupnya yang bergantung pada berkat dan Rahmat dari Allah. Rasa syukur itu diungkapkan dalam ritus yang biasa dihayati yang merupakan wujud dari bakti manusia kepada Allah Sang Penciptanya. Itulah yang disebut kesadaran religius. Kedua adalah bahwa kegembiraan itu semakin besar bila dinikmati bersama atau dengan berbagi dengan yang lain. Ini wujud dimensi sosialnya. Hal itu semakin diwujudkan dengan saling berbagi. Hidup kita seharusnya hidup yang selalu dipenuhi rasa syukur. Orang suci mengatakan bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang bisa selalu bersyukur dalam hidupnya. Dengan demikian ia selalu mengakui bahwa hidup ini anugerah, hidup ini pemberian dari Allah. Dan pemberian itu tidak hanya membawa kegembiraan pada dirinya sendiri tetapi disempurnakan dan diperluas dengan kepedulian berbagi dengan sesama. Marilah kita menjadi orang-orang yang selalu bersyukur agar makin penuhlah sukacita kita dalam hidup ini.


4. SEPULUH SIKAP DALAM MEMBERI PERSEMBAHAN

“Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7b). Semboyan ini merupakan sumbangan penting untuk mengerti persembahan, termasuk pemberian pada Pesta Panen. Bertolak dari ungkapan Paulus ini, maka baik kita simak penghayatan orang yang memberi persembahan dan bagaimana seharusnya sikap kita dalam memberi.

4.1. Memberi dengan Semangat

Apa motivasi orang Katolik untuk memberi? Memberi adalah suatu kharisma (Rm 12:8), suatu hadiah Allah pencipta yang melimpahkan kasih karunia-Nya kepada umat-Nya, yang memampukan mereka memberi dengan murah hati. “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9:8). Siapa yang bertemu dengan kasih karunia Tuhan akan diberdayakan untuk memberi dengan berlimpah. Sebab, ia melihat kekayaan Allah dalam diri Yesus yang menyerahkan diri-Nya agar kita menjadi kaya oleh karena kemiskinannya (bdk. 2 Kor 8:9). Orang Katolik yang sudah diperkaya oleh Sang Pencipta dalam Yesus Kristus semakin meyakini ucapan Yesus bahwa “lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis 20:35). Di sini Paulus mengutip ungkapan Yesus yang tidak diberitahukan dalam Injil-injil. Ungkapan ini oleh penulis untuk Kitab Kisah Para Rasul dimuat dalam pidato Paulus kepada para penatua di Efesus, dan salah satu titik beranya adalah pelayanan “membantu orang lemah”. Justru inilah motivasi orang Katolik untuk memberi dengan semangat. Paulus mempromosikan persembahannya dengan semangat besar dan kesungguhan bertindak supaya sukses.

Sama seperti dulu, sekarang juga persembahan hasilnya lumayan besar. Hal itu tidak terjadi begitu saja. Orang semakin sadar akan arti bersyukur kepada Tuhan. Namun, di lain pihak ada kekhawatiran umat, apabila memberi banyak maka biaya untuk keperluan hidup sehari-hari menjadi berkurang. Karena itu mereka hanya memberi sedikit dan bahkan ada yang memberi hanya sisa-sisa ongkos atau belanja.

4.2. Memberi Berdasarkan Informasi

Informasi persembahan “dianaktirikan” dalam liturgi ibadat. Para pengurus gereja kurang mempersiapkan bagian ibadat yang penting ini. Mereka menganggap bahwa umat sudah (kurang lebih) termotivasi untuk memberi. Untuk apa diberikan waktu dan pikiran untuk pemberitahuan yang teliti dan menarik perhatian umat yang berkumpul? Jadi, informasi tentang tujuan persembahan sering tidak disampaikan kepada jemaat secara baik. Kadang kala informasi terlalu singkat: “Persembahan Hari Minggu ini ditetapkan untuk renovasi gedung gereja.” Atau terlalu panjang dan bertele-tele, sehingga membosankan, bahkan menurunkan semangat untuk memberi.

Apabila penyampaian informasi itu disiapkan dengan baik, pasti jemaat terbuka untuk memberi menurut kemampuan atau malah lebih dari itu. Camkanlah: keputusan untuk memberi dengan kemurahan, bukan dengan akal saja, melainkan juga dengan hati! Akal membuka pundi-pundi, hati menentukan berapa yang diambil dari pundi-pundi itu! Umat memang memberi tapi tanpa motivasi yang khusus. Alangkah baiknya apabila informasi diterangkan dengan jelas selama satu-dua menit saja!

4.3. Memberi dengan Sukarela dan Sukacita

Segala pemberian umat hendaklah dikalukan dengan sukarela, bukan perintah “dari atas” ataupun paksaan. Dari wajib memberi tidak bertumbuh berkat! Tidak ada juga semacam pengukur jumlah pemberian tertentu untuk persembahan! Allah yang memberi dengan berkelimpahan mencurahkan kepercayaannya kepada manusia yang memberi dengan sukarela dan sukacita. Sebab “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7b), tidak dengan segan-segan.

Allah yang mahakaya itu menghendaki suatu umat yang bersukaria dan bukan yang berwajah murung. Sebab, barangsiapa menerima berkat yang berlimpah, hendaklah ia mau berbagi dengan sesama yang berkekurangan dengan sukarela dan sukacita. Untuk itu, sangat menarik teladan jemaat Makedonia, - yang dianiaya, namun bertahan dalam penderitaan – yang dengan gembira memberi dengan berkelimpahan. Orang-orang Kristen Makedonia tidak menganggap partisipasi mereka dalam aksi pengumpulan sumbangan tersebut sebagai suatu privilege (hak istimewa) yang perlu dilamar agar boleh ikut serta: “Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus” (2 Kor 8:4). Teladan mereka pantas ditiru!

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa memberi dengan sukacita dan sukarela sebagai jawaban atas pemberian kasih Allah yang begitu besar itu, adalah motivasi utama bagi umat yang berpatisipasi dalam kegiatan pemberian persembahan yang dianjurkan kepada mereka.

4.4. Memberi Sesuai dengan Kemampuan

Pemberian kiranya sesuai dengan kemampuan (2 Kor 8:11-12). Nasiha Paulus kepada jemaat Korintus adalah “hendaklah kamu masing-masing – sesuai dengan apa yang kamu peroleh – menyisihkan sesuatu” (1 Kor 16:2). Kerelaan dan kemampuan memberi berpedoman pada anggaran rumah tangga. Banyak keluarga di Indonesia masih hidup di sekitar bahkan di bawah garus kemiskinan. Namun, mereka – mengikuti pedoman Paulus – “menyisihkan sesuatu” untuk kebutuhan gereja. Seorang janda dalam cerita Yesus memasukkan “segala apa yang ada padanya, segenap nafkahnya” ke dalam peti persembahan (Mrk 12:44). Sumbangan dari janda yang miskin itu berkenan di hadapan Tuhan, karena bukan besarnya jumlah pemberian, melainkan sifat pengorbanan ibu itu yang menentukan.

Di provinsi Papua, penduduk Kristen, baik di pedalaman pegunungan maupun didaerah pantai, “menyisihkan sesuatu” (bahan makanan) sebagai persembahan mereka pada ibadah Minggu. Walaupun kebanyakan orang Kristen Papua hidup di desa terpencil dan sangat miskin, toh mereka mampu memberi persembahan berupa makanan; di kawasan pegunungan: ubi dan sayur, di kawasan pantai: sagu, ikan asin dan kelapa. Pemberian-pemberian itu biasanya diuangkan dan diserahkan kepda pewarta. Terkenal juga dalam umat di lembah Baliem-Yalimo, apa yang disebut “babi persembahan”. Kalau terlalu banyak ubi dikumpulkan dalam kebaktian, maka ada anggota yang sanggup membelinya guna menambunkan “babi persembahan” yang dapat dijual bila sudah gemuk atau dipotong, umpamanya pada pesta hari ulang tahun anaknya.

Tidak jarang kita dengar ada dermawan dan penyantun yang sering menyediakan dakan besar untuk beraneka ragam tujuan umat, tetapi menjadi sombong (bdk. 1 Tim 6:17-19). Mereka mendiktekan penggunaan dan penyaluran dana yang mereka sumbangkan. Terhadap sikap seperti ini, Yesus mengingatkan kita untuk tidak mencanangkan pemberian yang kita berikan di hadapan orang banyak; sebaliknya, hendaklah kita memberi dengan berpedoman pada: janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu (bdk. Mat 6:1-4). Perlu diperhatikan juga bahwa orang-orang Katolik kaya yang terus-menerus didekati untuk menjadi sponsor, mulai merasa dirinya diperas dan mulai timbul perasaan “segala sumbangan mewah itu melampaui kemampuan mereka”. Kiranya pedoman ini menjadi dasar dan berlaku untuk semua lapisan masyarakat, agar memberi sesuai dengan kemampuan masing-masing.

4.5. Memberi dengan Murah Hati

Kata sifat ini (murah hati) menggambarkan pemberian dengan berkelimpahan. Anggota-anggota jemaat Makedonia dan Akhaya juga tergolong di antara mereka yang memberi dengan “melampaui kemampuan” (2 Kor 8:3, 7; 9:5,11). Paulus mengajak jemaat misinya untuk memberi dengan murah hati, karena mereka begitu unggul dalam segala hal rohani sehingga mereka juga unggul dalam hal mendukung pelayanan kasih. Berbeda dengan nasihat “memberi sesuai dengan kemampuan”, Paulus dengan sekuat tenaga mempromosikan pengumpulan dana untuk Yerusalem agar jumlahnya lumayan besar. Hal ini sesuai dengan ucapan Yesus, “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut” (Luk 22:48). Jemaat-jemaat Paulus menuruti nasihat Paulus. Mereka yakin bahwa upaya-upaya dan kesungguhan mengumpulkan sumbangan bagi orang-orang yang menderita tersebut “membuktikan juga kekayaan kasih karunia yang telah diterima” (2 Kor 8:2).

Dalam banyak gereja dikenal persembahan persepuluhan. Dasar teologisnya diambil dari praktik persembahan yang dilakukan oleh umat Israel dalam Perjanjian Lama. Memberi persepuluhan sepenuhnya dan dengan tertib menyediakan suatu jumlah uang yang lumayan besar sambil memungkinkan suatu pelayanan umat yang sungguh baik. Secara rohani, kita boleh menganggap persembahan persepuluhan sebagai suatu ekspresi iman kepercayaan yang teguh. Tetapi, itu bukanlah suatu norma untuk kekatolikan dan bukan pula sesuatu yang dilakukan dengan paksaan. Siapa yang memberi dengan berkelimpahan akan mengalami berkat Tuhan yang berlimpah. Pendermaannya menjadi “suatu bukti kemurahan hatinya” (2 Kor 9:2). Sebaliknya, orang yang menggenggam hartanya secara kikir dan hatinya tidak terbuka untuk menolong sesama akan senantiasa dicekam oleh “kecemasan” dan “kekhawatiran” akan masa depan. “Janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Mat 6:34).

4.6. Memberi dengan Tulus Ikhlas

Memberi dan mengelola dana dengan tulus ikhlas adalah suatu tuntutan mutlak dalam gereja dan masyarakat. Meskipun demikian, cara memberi ini tetap menuntut pengelolaan keuangan yang baik. Pengumpulan dana untuk Yerusalem cukup banyak (2 Kor 8:20-21) dan perlu dipertanggungjawabkan. Untuk itu, ditugaskan dua orang saudara yang bonafide untuk turut mencegah kecurigaan yang mungkin timbul dalam jemaat Korintus yang beranggapan bahwa sebagian dari dana yang terkumpul telah disisihkan untuk kepentingan pribadi Paulus. Kedua teman seiman itu hendak memproklamasikan bahwa dana yang sudah terkumpul dikelola dengan tertib. Bagi Paulus, hal ini sangat penting: usahanya harus dapat dinilai oleh “Tuhan dan manusia”, sehingga tidak ada alasan untuk mencelanya. Memang, “Allah yang menguji hati kita” (1 Tes 2:4), tetapi juga di hadapan umat perlu ada pembuktian.

4.7. Memberi dengan Tekun

Untuk dapat memberi dengan tekun, diperlukan tiga hal: kesungguhan kasih (2 Kor 8:8), kehendak yang bulat (2 Kor 8:9), dan tekad yang bulat untuk melaksanakan usaha sampai tuntas (2 Kor 8:6,10-11). Pelaksanaan pengumpulan sumbangan yang diprakarsai oleh Paulus cukup lama macet karena adanya perselisihan dalam jemaat Korintus. Persoalannya sudah dipecahkan, kegiatan untuk melanjutkan dan menyelesaikan aksi pengumpulan perlu dimulai kembali. Pada mulanya, kegiatan itu dirancang dengan sangat baik dan penuh semangat, tetapi lama-kelamaan tertunda dan akhirnya berhenti. Namun, ketika kasih bergerak (2 Kor 8:24) dengan “perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh 3:18), maka kesungguhan memberi akan tepat sasaran. Jikalau ada tekad bulat untuk mewujudkan apa yang pernah dirancang, maka hasil pun akan dicapai. Kegiatan pengumpulan sumbangan itu menuntut ketekunan, apalagi karya itu berlangsung selama kurang lebih 1,5 tahun!

Untuk itu, kita dapat belajar dari cara Paulus yang sanggup “menghidupkan kembali” aksinya. Meskipun pengumpulan sumbangan untuk jemaat di Yerusalem sangat lambat, tetapi Paulus tidak menyerah. Dia menghimbau jemaat-jemaat untuk tidak mengenal lelah dan melanjutkan aktivitas itu dengan semangat yang semula sambil mengutus beberapa teman seiman yang ia percayai untuk turut mempercepat pelaksanaan aksi itu!

Orang Katolik yang memberi dengan tekun tidak usah bingung mengenai perbelanjaan esok hari. Seorang penyokong yang memberi dengan tetap, tidak akan menghadapi kekurangan, sebab: “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus” (Filp 4:19). Siapa memberi kepada Allah dengan tekun dan sukacita akan mendapati bahwa Tuhan tidak membiarkan orang itu hidup dalam kesukaran. Adapun ketakutan ini, kita diingatkan pada pertanyaan Yesus kepada murid-murid-Nya, setelah mereka hidup bersama selama tiga tahun. “Ketika Aku mengutus kamu dengan tiada membawa pundi-pundi, bekal dan kasut, adakah kamu kekurangan apa-apa?” Jawab mereka, “Suatu pun tidak” (Luk 22:36). Dari kemurahan Bapa-Nya, Yesus selalu menyediakan kelimpahan. Ribuan orang dikenyangkan, malah sisa roti masih dua belas bakul penuh (bdk. Mat 14:20). Tamu-tamu perayaan perkawinan mendapat kira-kira 240 liter anggur kualitas tinggi untuk pesta di desa Kana itu (bdk. Yoh 2:1, dst). Tanpa Bapa di surga memberi dengan tekun, hal itu hanya sekedar tugas wajib. Dengan Tuhan kita, pemberian yang dilakukan dengan tekun akan menjadi salah satu pengalaman orang Katolik yang berbahagia.

4.8. Memberi Diri Sendiri

Orang-orang Kristen Makedonia “memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah, kemudian ... juga kepada kami” (2 Kor 8:5). Mereka tidak menyubangkan sekedar sesuatu jumlah uang, “habis perkara”; mereka melibatkan diri sepenuhnya dalam aksi yang mendesak itu, mereka mengidentifikasikan diri dengan suatu tugas yang erat hubungannya dengan misi Paulus. Jemaat-jemaat misi menyerahkan dirinya kepada tugas tersebut sebagai orang Kristen baru yang ingin mengikuti Yesus yang telah menyerahkan diri kepada manusia yang menderita. Jadi pemberian-pemberian mereka yang unggul boleh disebut sebagai suatu korban tulen yang terutama diserahkan kepada Tuhan, kemudian kepada umat seiman di daerah yang jauh, yaitu Yerusalem. Kesungguhan memberi diri sendiri menjadi suatu teladan yang pantas ditiru oleh jemaat-jemaat lainnya, khususnya di Korintus. Hasilnya, jauh lebih besar daripada yang diharapkan.

4.9. Memberi dengan Teratur dan Tertib

Pengumpulan pemberian tidaklah dilaksanakan Paulus seorang diri. Rasul itu menjalankan misi tersebut bersama dengan Titus dan dua utusan yang dipilih dan ditugaskan oleh jemaat-jemaat yang memercayainya. Ketiga teman seniman Paulus itu merupakan utusan-utusan andalan yang imannya kuat, menjiwai tugas pelayanan kasih dan mandiri dalam upaya mengawasi pelaksanaannya. Mereka senantiasa waspada agar seluruh urusan yang berkenaan dengan pengumplan sumbangan itu berlangsung dengan teratur dan tertib. Oleh karena itu, Paulus memberi suatu gelar atau penghargaan yang sangat istimewa kepada utusan-utusan jemaat Yunani, yaitu “doksa Tuhan”, “suatu kemuliaan bagi Kristus” (2 Kor 8:23).

Sekilas, tugas pelayanan mereka sebenarnya sederhana saja, tetapi diberi suatu kualifikasi rohani yang luar biasa. Meskipun mereka jemaat biasa, namun mereka setia dan bertanggung jawab sehingga patu dihargai dengan martabat rohani yang mulia. Kesetiaan dan rasa tanggung jawab itu mereka lakukan atas dasar prinsip utama: persembahan yang dipercayakan jemaat merupakan suatu “harta benda” yang harus dihargai. Sebab itu, pemanfaatan dana-dana tersebut berjalan dengan tertib sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan bagi umat.

4.10. Memberi dengan Ucapan Syukur dan Puji-pujian

“Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2 Kor 9:15). Paulus mengakhiri kedua surat pengumpulan sumbangannya dengan ucapan syukur. Baik para dermawan, maupun para penerima terdorong untuk mengucap syukur dan terimakasih atas kasih karunia Allah yang tidak terkatakan. Tetapi, kita melihat juga kenyataan bahwa syukur sering tanpa tindak lanjut, sehingga tidak menjadi konkret dalam dedikasi kepada sesama.

Ada satu fenomena yang dapat kita lihat dalam dunia modern sekarang ini. Manusia tidak puas atas hidup mereka, karena mereka telah memisahkan pemberian dari Pemberi, yaitu Tuhan. Siapa yang tidak menghormati Sang Pemberi, tidak menghargai pemberian-Nya. Karena itu, sangat perlu menghubungkan kembali segala kebajikan yang orang terima, bahkan sering dengan kelimpahan, dengan Sang Pencipta. Melalui rasa dan ucapan syukur terwujudlah kontak dengan Pemberi, yaiut Allah dan sesama manusia. Rupanya sikap berterimakasih kepada Tuhan harus dipelajari ulang, mulai dengan doa makan sampai sharing kebutuhan sesama!

Paulus yakin bahwa pelayanan kasih jemaat Kristen Yunani untuk jemaat Yahudi di Yerusalem turut “melimpahkan ucapan syukur kepada Allah” (2 Kor 9:12b). Kalau jemaat-jemaat kita sadar bahwa persembahan mereka mendatangkan puji-pujian akan Tuhan, maka mereka mendahului apa yang akan dilakukan seluruh ciptaan padamasa eskatologis. Allah menciptakan kita untuk menjalankan hidup menjadi puji-pujian akan nama-Nya. Siapa yang memberi dengan motivasi rasa syukur, akan menjalankan hidup yang penuh berkat dan sukacita yang Tuhan karuniakan kepada-Nya.

Apa yang terjadi dalam pemberian antara Allah dan manusia, tidak mengikuti logika do ut des, tetapi logika “kami memberi karena Engkau telah beri”. Inilah dasar dan tujuan ucapan syukur dan terima kasih yang mempermuliakan anugerah Allah yang tidak terkatakan!


5. KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, pesta panen adalah tradisi gereja dan masyarakat yang sudah lama dirayakan. Pesta panen merupakan suatu perayaan ucapan syukur atas segala anugerah Tuhan kepada manusia.

Kedua, bentuk perayaan pesta panen bervariasi dari daerah dan zaman yang berbeda. Waktu pelaksanaan pesta panen berbeda juga sesuai dengan kebiasaan setempat. Tetapi baik di desa, maupun di kota, baik dulu maupun sekarang inti dari peryaan ini tetap sama, yaitu bersyukur dan berterimakasih atas pemberian anugerah hidup dan hasil bumi yang boleh dinikmati manusia.

Ketiga, ada beberapa sikap yang perlu dalam hal memberi, dan menyampaikan pemberian. Sikap-sikap itu mau menggambarkan bagaimana penghayatan dan sikap batin seseorang dalam menyampaikan pemberian dan persembahannya. Sikap yang baik tentu akan memperoleh hasil yang berlimpah.


Panguruan, 09 September 2014
RP. Herman Nainggolan, OFMCap.