Sabtu, 12 Januari 2008

LITURGI DAN DEVOSI

05170013.JPGDalam tradisi Gereja Katolik terdapat banyak devosi yang indah. Doa Rosario, Jalan Salib, Adorasi Ekaristi, berbagai penghormatan kepada Santa Perawan Maria, Hati Kudus Yesus merupakan contoh devosi yang tetap populer hingga sekarang. Ada lagi perarakan Sakramen Mahakudus, ziarah ke tempat-tempat suci seperti Lourdes, penghormatan terhadap orang-orang kudus seperti Santo Padre Pio, Novena, pemakaian medali dan seterusnya. Semua kegiatan saleh ini dilaksanakan karena terdorong oleh sikap iman. Melalui devosi dinyatakan sikap hormat dan hubungan khusus umat beriman dengan Pribadi Ilahi, Santa Perawan Maria, dan dengan para kudus di dalam Gereja. Jelas pula kebaktian model ini telah menyuburkan hidup rohani umat. Devosi memang bagian hidup dari tradisi Gereja, harta rohani bagi umat Allah. Ketika memberikan kursus liturgi kepada pemuka jemaat awam dan biarawan-biarawati di berbagai tempat di wilayah Keuskupan Agung Medan, saya memperoleh kesan sejumlah dari mereka terusik oleh pernyataan, “Devosi itu bukanlah termasuk bagian dari tindakan liturgis”. Kesan yang sama saya alami setiap kali memberi kuliah Introduksi Liturgi di STFT St. Yohanes Pematangsiantar selama sepuluh tahun ini. Beberapa umat lainnya pun barangkali diusik oleh pernyataan itu. Kalau demikian apa alasan doa-doa yang indah itu tidak dianggap sebagai tindakan liturgis? Mengapa Ekaristi dan Sakramen-Sakramen, Sakramentali dan pemberkatan-pemberkatan, Tahun Liturgi, dan Ibadat Harian merupakan tindakan liturgis? Adakah sesuatu yang ”kurang” dengan devosi? Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan segala-galanya. Perhatian utama diberi pada persamaan dan perbedaan antara devosi dengan liturgi. Untuk itu kiranya perlu lebih dulu melihat alasan munculnya devosi dalam Gereja Katolik. Butir pemikiran pastoral akan mengakhir tulisan singkat ini. Kilasan lahirnya devosi. Devosi sebenarnya sudah ada sejak awal kekristenan. Hingga abad ke-4 devosi sungguh menyuburkan liturgi.

Paus Gregorius Agung (590-604) memberi arahan bijaksana agar liturgi dapat diperkaya oleh devosi. Arahan seperti ini senantiasa diberikan oleh otoritas Gereja sebab devosi bisa bertentangan dengan liturgi. Devosi tumbuh subur terutama sejak abad ke-7 sampai ke-15. Pada abad pertengahan ini, umat amat rajin berdevosi namun kurang berliturgi. Kecintaan akan devosi terus meningkat setelah Konsili Trente. Devosi sungguh digandrungi oleh umat kebanyakan. Suasana devosi berlangsung semarak, penuh dengan musik, hiasan indah, lilin-lilin banyak bernyala, pakaian indah dan mewah sementara misa sendiri misalnya sering tanpa lagu dan sedikit umat yang menerima komuni. Pada era Konsili Vatikan II dan sekarang kecintaan umat beriman akan devosi masih tetap hidup. Apa latar belakang lahirnya devosi dan suasana yang demikian itu?

Pada umumnya devosi itu lahir untuk memperpanjang renungan pribadi atas sesuatu misteri keselamatan. Ketika bahasa Latin ditetapkan sebagai bahasa liturgi maka kebanyakan umat tidak cukup mengerti lagi tentang liturgi. Liturgi dipandang sebagai milik kaum klerus. Untuk itu dicari bentuk doa yang lebih dipahami dan gampang dihayati seperti pentahtaan Sakramen Mahakudus. Di dalamnya ikut serta juga paham teologis. Misalnya ketika di kalangan para teolog ada debat tentang kehadiran Yesus Kristus dalam rupa roti dan anggur muncul devosi adorasi. Tujuannya agar orang yang ragu akan kehadiran Yesus Kristus dalam ekaristi, tetap dapat percaya. Lagi, situasi kehidupan masyarkat abad pertengahan ditandai oleh kemiskinan ekonomi. Dalam situasi demikian dirasakan oleh umat pentingnya melihat sengsara Kristus, maka lahirlah Jalan Salib atau Hati Kudus Yesus. Termasuk di sini ingin dijelaskan identitas orang kristen secara jelas sehingga jam-jam tertentu dibunyikan lonceng untuk doa Angelus. Kondisi sosial budaya yang amat sekular memunculkan keinginan agar dibuat sesuatu devosi mengatasi ini. Alasan utama terletak pada liturgi sendiri. Liturgi sering kurang menyentuh hati. Rumusan doa dan strukturnya sulit dipahami oleh umat kebanyakan. Liturgi semakin jauh dari umat ketika pada abad pertengahan bahasa Latin menjadi bahasa liturgi. Penyeragaman liturgi setelah Konsili Trente menyebabkan liturgi terasa kering dan kaku. Umat tidak mengerti apa yang sedang berlangsung dalam suatu perayaan liturgi. Liturgi sepertinya hanya urusan kaum klerus sementara para awam tidak lebih sekedar penonton-penonton yang bisu. Umat merindukan kegiatan rohani yang menyentuh afeksi dan emosi. Muncul devosi yang dilaksanakan dalam bahasa rakyat dan gampang dipahami. Di sini devosi seakan diperuntukkan bagi kaum awam. Penyebab lain ialah pembedaan peranan dalam Gereja: klerus – kaum religius – awam membangkitkan gaya dan bentuk berdoa tersendiri. Selain itu kurangnya pemahaman akan Kitab Suci. Hal ini bukan hanya di kalangan awam tetapi juga sejumlah klerus dan religius. Akibatnya mereka sulit memahami susunan dan bahasa simbol yang terdapat dalam liturgi. Di tempat lain jarang homili dipahami oleh umat, aspek kateketis pun amat miskin. Liturgi seakan hanya untuk kaum intelek sehingga umat mencari bentuk dan moment ibadat alternatif. Dalam suasana seperti itu ditemukanlah bentuk-bentuk devosi yang populer dan dapat dipahami. Jadi devosi lahir karena liturgi belum memenuhi cita rasa kerohanian umat setempat.

Walaupun devosi itu sungguh semarak dan meriah, Gereja tetap memandang liturgi sebagai ungkapan iman yang paling unggul. Karena itu Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC) menyatakan liturgi sebagai ”puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja, dan serta-merta sumber segala daya kekuatannya (10). Sekalipun demikian Gereja juga tetap mengakui bentuk doa seperti devosi, karena itu dikatakan, ”hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut-serta dalam liturgi (SC 12). Untuk menyuburkan hidup rohani umat terdapat juga devosi, khususnya devosi yang sudah dianjurkan oleh Takhta Apostolik. Pendeknya praktek devosi itu didukung sungguh oleh Gereja asalkan selaras dengan iman resmi Katolik. Karena itu ada baiknya kita melihat beberapa persamaan dan perbedaan antara kedua bentuk doa ini.

Persamaan devosi dengan liturgi.

Devosi dan liturgi adalah bentuk doa yang berlaku sah dalam Gereja Katolik. Selain liturgi, Gereja juga mengenal bentuk doa devosi. Orang kristen memang dipanggil untuk berdoa bersama tetapi juga secara pribadi. Injil Mateus 6: 6 misalnya jelas mengungkapkan bagaimana doa pribadi harus dilaksanakan, ”Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi”. Devosi sebagai doa pribadi tentu mengakar pada ide ayat ini. Bahkan menurut amanat Rasul Paulus orang kristen harus berkanjang dalam doa. Jadi yang paling penting dipegang ialah devosi itu adalah bentuk doa sebagaimana juga liturgi adalah bentuk doa. Kedua bentuk doa ini sama-sama mengungkapkan iman dan kebaktian khas Katolik. Dengan demikian keduanya diakui sebagai bentuk doa orang beriman. Keduanya saling melengkapi, tidak ada pertentangan di dalamnya. Roh Kudus juga bekerja di dalam devosi. Karena itu Konsili Vatikan II tetap mengarahkan agar devosi itu mengalir dari dan untuk liturgi. Apa yang dirasakan tidak tertuangkan dalam liturgi dapat dilengkapi dalam devosi. Apa yang dirasakan kurang dalam devosi disempurnakan dalam liturgi. Dengan demikian kedua bentuk doa ini sungguh dapat menyuburkan iman umat. Dan iman yang subur itu ditampakkan dalam kehidupan. Karena itu pada tahun 1988, peringatan 25 tahun SC, almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus (VQA) mengharapkan devosi tetap dipelihara dan dihargai. “Devosi yang merakyat ini tidak boleh diabaikan atau diperlakukan dengan acuh tak acuh atau malah diremehkan, karena devosi-devosi itu kaya akan nilai, dan kegiatan itu sendiri mengungkapkan sikap religius terhadap Allah” (no. 18). Paus ini amat yakin devosi dan liturgi sama-sama mengembangkan kehidupan rohani dan memperdalam iman umat.

Perbedaan: kekayaan bukan pertentangan

Selain persamaan terdapat juga sejumlah perbedaan yang mestinya dicermati dengan teliti untuk dihayati. Devosi itu bernada privat, pribadi, dapat dilaksanakan secara bersama dan pribadi. Sementara liturgi itu selalu dirayakan dalam kebersamaan. Dapat dikatakan devosi itu “swasta” sementara liturgi itu resmi sebagai pengungkapan iman Katolik. Devosi itu lahir dari inisiatif pribadi yang kemudian diakui oleh Gereja tetapi tidak menjadi doa resmi yang mengikat. Dengan demikian devosi itu memiliki bentuk bebas, dapat dirombak sesuai dengan kebutuhan orang atau selera daerah. Sedangkan liturgi itu merupakan ketetapan resmi oleh magisterium Gereja. Ini obyektif sifatnya sementara devosi itu subyektif. Karena liturgi adalah ibadat resmi (umum) maka ditetapkan oleh otoritas Gereja, sementara devosi bersifat personal. Struktur liturgi sudah baku dan tidak begitu saja dapat dirombak oleh siapapun. Liturgi berlaku universal dan ibadat resmi Gereja. Iman akan misteri paska Kristus diproklamasikan dalam liturgi baik pribadi maupun bersama. Umumnya devosi itu menggunakan gaya bahasa rakyat dan sederhana. Terasa kuat ungkapan emosi dan afeksi sehingga juga subyektif. Liturgi memiliki gaya bahasa teologi yang kadang sulit dipahami oleh umat kebanyakan. Devosi tidak memiliki karakter sakramental sebagaimana ditemukan dalam liturgi. Dan lagi aspek dialogal sangat nyata dalam liturgi, Allah bersabda dan manusia menanggapi. Struktur ini tidak ditemukan dalam devosi, hanya ada satu aspek yaitu “mengatas”, tanpa garis “menurun” dari pihak Allah. Dalam konteks ini bisa dikatakan juga devosi tidak selalu memiliki aspek kristologis, trinitaris, ekklesiologis, atau pneumatologis sebagaimana terdapat dalam liturgi. Butir Pastoral. Spiritualitas bukan terbatas pada liturgi. Devosi sungguh dapat menyuburkan iman, memupuk cita rasa religius dalam pelbagai situasi hidup umat. Melalui devosi, rahmat Allah semakin dapat menyentuh hati dan perasaan umat secara mendalam (mendekatkan manusia dengan Allah – membangun jemaat – meningkatkan iman pribadi – mengembangkan liturgi). Cita rasa religius ini semestinya sepadan dengan ajaran resmi Gereja. Disebut demikian karena devosi dapat juga menimbulkan masalah dan kesulitan bahkan bahaya yang mengancam kehidupan beriman. Misalnya, devosi yang terlalu menonjolkan unsur subyektif dapat mengaburkan kesatuan iman pribadi dalam kebersamaan iman Gerejani; bila devosi terlalu banyak dikuasai oleh emosi dan afeksi; bila devosi menjerumuskan orang ke tindakan berbau tahyul dan magis. Karena itu almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostoliknya yang telah dikutip di atas mengingatkan, ”Devosi-devosi itu perlu terus menerus diinjili, sehingga iman yang diungkapkan di dalamnya dapat menjadi tindakan yang semakin matang dan benar. Baik ulah kesalehan umat kristen maupun bentuk-bentuk devosi lainnya baik dan dianjurkan oleh Gereja, asal semua itu tidak menggeser atau merongrong perayaan-perayaan liturgis. Suatu pendidikan liturgi yang sungguh pastoral akan meningkatkan kekayaan dari kesalehan umat itu, sambil memurnikan dan mengarahkannya kepada liturgi sebagai persembahan umat” (VQA, 18). Paham ini sebenarnya sudah dicetuskan dalam dokumen Sacrosanctum Concilium no. 13 dengan mengatakan, “ ... ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadanya; sebab menurut hakekatnya Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu.” Usaha pastoral yang harus kita upayakan ialah memelihara devosi yang menyuburkan kehidupan rohani; memisahkan gandum dari lalang sehingga iman sejati tetap hidup. Devosi itu hendaknya diupayakan bercorak biblis, liturgis, ekumenis, dan antropologis. Liturgi sendiri semestinya semakin memperhatikan cita rasa budaya umat setempat. Logika dan intelektualitas liturgi semestinya memberi ruang bagi afeksi dan emosi. Serentak pula afeksi dan emosi dalam devosi mengindahkan logika dan intelektualitas liturgi. Dengan demikian devosi dan liturgi beserta persamaan dan perbedaan merupakan harta rohani Gereja sejati. Dalam hal ini amatlah berguna mencermati arahan pastoral yang digariskan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen pada Desember 2001 dalam dokumen, “Directory on Popular Piety and the Liturgy. Principles and Guidelines”. Devosi bukanlah kebaktian untuk kaum awam atau liturgi untuk kaum klerus, melainkan devosi dan liturgi adalah kebaktian untuk kaum awam dan kaum klerus. Baik devosi maupun liturgi keduanya menjadi sumber kekuatan batin bagi setiap orang beriman. ***

P. Emmanuel J. Sembiring, OFMCap.

Nota:

Artikel ini telah pernah dimuat di majalah liturgi, "Liturgi. Sumber dan Puncak Kehidupan", vol. 18 - 2007 (Nov-Des)

5 komentar:

  1. Yang terhormat Sdr. P Emmanuel J Sembiring OFM.Cap.
    Sebelumnya perkenankan saya memperkenalkan diri saya: Saya Sonny Aryanto, anggota Congregatio Imaculati Cordis Maria (CICM Prov Indonesia), saat ini masih menempuh studi di STF Dryarkara, Jakarta.

    Dari uraian artikel yang saudara buat banyak sekali buah-buah yang sudah diuraikan dengan cukup padat meskipun singkat. Selama ini saya juga bayak mendapatkan kesan dari kalangan umat yang kurang mengerti konteks liturgi dalam tradisi Gereja Katolik Roma. Mereka sering mempertanyakan masalah devosi dan liturgi di dalam gereja. Saya rasa memamang benar bahwa mengetahui konteks perkembangan liturgi di dalam gereja adalah suatu masukan yang cukup penting untuk memahami bagaimana letak dan kedudukan litugi serta perkembangan devosi di dalam tradisi gereja. Bagi saya, selama ini nampak kesan bahwa banyak kalangan imam dalam pengajaran litugi kepada umat kurang memperhatikan konteks. Saya pikir kita tidak dapat berbicara mengenai liturgi tanpa memperhatikan konteks perkembangannya. Hal inilah yang sering terjadi di kalangan imam, yang seolah-olah sudah menjadi imam terimplikasi pasti cakap dalam litugi. Kemudian hal yang menadasar juga berpengaruh kepada umat ketika mereka berusaha untuk mendalami dan menggali makna terdalam di dalam litugi sebagai penghayatan kehidupan jemaat. Kini yang menjadi pertanyaan adalah "Sebenarnya para imam itu mengerti tidak tentang liturgi?"

    menurut saya, adalah benar bahwa di dalam artikel yang saudara paparkan memuat unsur konteks yang perlu ditekankan bahwa perkembangan liturgi hingga saat ini tidak melupakan proses sejarah. Bahwa di dalam abad ke VII memang sudah ada peleburan liturgi antara Liturgi Romawi dengan Liturgi Prancis-Gallia. Namun dalam perjalanan waktu Liturgi Romawi mendapat kedudukan yang lebih karena memiliki identitas yang jalas. Hal yang paling penting ditekankan di sini adalah bahwa pada abad itu umat kristiani sedang mengalami kebimbangan karena tidak ada litugi yang jelas sebab pada masa itu banyak kalangan biarawan dan uskup-uskup melakukan "experiment" mengenai liturgi. Pada masa inilah kita juga sebaikanya tidak melupakakan peran Uskup Bonafasius yang membawa liturgi Romawi di Jerman, selain itu peran Kaisar Carolus Magnus yang telah menetapkan penggunaan Liturgi Romawi di wilayah kekuasannya. Kemudian pada abad VIII juga mengalami perkembangan liturgi mengenai doa Syukur agung yang hanya diucapkan oleh imam saja. Seratus tahun kemudian (Abad IX) juga terjadi pergeseran mengenai pengakuan dosa, yaitu pengakuan dosa yang bersifat publik digantikan dengan kebiasan pengakuan dosa secara pribadi melalui para rahib yang mengembara pada waktu itu. Pada masa ini buku-buku litugi romawi memang masih berupa teks-teks saja, namun hebatnya seiring munculnya keinginan umat akan arti penting liturgi maka buku-buku litugi yang masih berupa teks akhirnya ditambahkan dengan rubrik-rubrik. Dari sinilah ditetapkan sebagai Liturgi Romawi resmi sebagai tata cara yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan Liturgi Gereja. Namun, seperti yang saudara ungkapkan di dalam artikel, benar bahwa pada masa ini umat mengalai keterasingan terhadap litugi Romawi karena seolah-olah miliki kaum klerus saja. Nah... dari sinilah banyak doa-doa devosi dan penghormatan terhadap sakramen Maha Kudus mulai muncul. Akhirnya pembaharuan Liturgi di dalam Gereja memang terjadi pada a bad XVI, yaitu di dalam konsili Trente yang telah menerbitkan Misale Romanum, Brevir, dan Katekismus Romanus. Dalam pembaharuan selanjutnya juga terjadi di dalam gereja hingga abad XX khususnya dalam Konsili vatikan, Sacrosactum Concillium sebagai dokumen resmi gereja.

    Semoga pemahaman singkat ini semakin memperkaya pemahaman tentang litugi. Hal ini tidak saya maksudkan sebagai "menggurui" artikel dan pemahaman mengenai Liturgi yang seharusnnya dilihat dari konteks sejarah karena hal ini merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan untuk perkembangannya.

    BalasHapus
  2. oke saya sangat berterima kasih atas penjelasan anda tentang liturgi dan devosi, karena semuanya itu dapat saya gunakan dalam pengetahuan di bidang liturgi apalagi saya yang notabene sebagai seminaris

    BalasHapus
  3. Saya sangat berterima kasih atas penjelasan ini dari pater Emanuel J Sembiring OFM cap, Saya selaku mahasiswa Sekolah Porhanger Paroki Kabanjahe memang punya waktu untuk bertanya semua yang kurang jelas. Tapi waktu sangatlah membatasi, dengan ini saya bisa mengutip penjelasan yang baik untuk bahan katakese dalam doa Lingkungan. Salam Persaudaraan.......

    BalasHapus
  4. Kepada Pengasuh Situs ini.
    saya mahasiswa STP-IPI Delitua, memohon bantuan saudara untuk mencarikan dan memberitahukan beberapa buku sumber sebagai referensi untuk penyusunan Tugas Akhir saya. Judul Tugas Akhir saya adalah Perwujudnyataan Demokrasi Dalam Kehidupan Paroki Menurut gereja Katolik.
    Atas Perhatian dan bantuannya saya Ucapkan Terima kasih Banyak. Tuhan Yesus memberkati. AMIN.




    Hormat Saya


    Petra Leni Munthe.

    BalasHapus
  5. coba anda baca buku tentang liiturgi karangan Martasudjita atau Rm. Mangunwijaya. selain itu cermin Injil G. Reimer. lalu buku tentang etika liturgi dan filsafat. tapi untuk lebih dalamnya lagai anda harus mengetahui dahulu demokrasi itu apa dan demokrasi dalam penelitian anda lebih mengacu pada apa.....

    BalasHapus